ALIRAN FILSAFAT HELLENISME
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Filsafat Yunani klasik mencapai puncaknya dengan munculnya Aristoteles.
Setelah ia meninggal dunia, pemikiran filsafat Yunani merosot. Lima abad
sepeninggalan Aristoteles terjadi kekosongan sehingga tidak ada ahli pikir yang
menghasilkan buah filsafatnya seperti Plato atau Aristoteles, sampai munculnya
filosof Plotinus (204-270).
Setelah itu diisi oleh aliran-aliran besar yang pokok pemikiran
filsafat dipusatkan pada cara hidup manusia sehingga orang yang dikatakan
bijaksana adalah orang yang mengatur hidupnya menurut budinya. Cara untuk
mengatur hidup inilah yang menjadi dasar dari Epikurisme, Stoaisme, dan
Skeptisisme. Menurut sejarah filsafat, masa ini sesudah Aristoteles disebut
zaman Hellenisme.
Hellenisme ini adalah nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara
hidup orang Yunani seperti terdapat di Athena di zaman Pericles. Hellenisme
pada abad ke 4 SM diganti oleh kebudayaan yunani, atau setiap usaha yang
menghidupkan kembali cita-cita Yunani zaman modern. Filsafat Yunani dimulai
pada pemerintahan Alexander Agung (356-23 SM) atau Iskandar Zulkarnain Raja
Macedonia. Pada zaman ini terjadi pergeseran pemikiran filsafat, dari filsafat
teoritis menjadi filsafat praktis.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud aliran Skeptisisme?
2.
Apa yang
dimaksud aliran Epikurisme?
3.
Apa yang
dimaksud aliran Stoaisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ALIRAN SKEPTISISME
Skeptisisme adalah suatu istilah yang berasal dari istilah Yunani Skepsis
yaitu menyelidiki. Sedangkan Skeptikos adalah orang yang memandang,
menyelidiki, atau menguji. Skeptisisme terutama mengajarkan sikap
kritis-analitis terdapat pendapat-pendapat yang tidak ditunjang dengan bukti
empiris. Kaum spektif menyangkal kemungkinan dicapainya dalam pengetahuan
manusia.[1]
Aliran ini berpendapat bahwa dibidang teoretis, manusia tidak akan sanggup
mencapai kebenaran. Pengetahuan kita tidak boleh dipercaya. Agar berbahagia,
manusia tidak harus mengambil keputusan yang pasti, tetapi mereka selalu
ragu-ragu. Mereka tidak mau terus atau langsung menerima ajaran-ajaran yang
datang dari ahli-ahli filosof masa yang lampau.[2]
Kaum skeptis adalah para Filosof yang meyakini bahwa keragu-raguan
terhadap segala sesuatu merupakan fondasi keyakinan. Oleh karena itu, ketika
mereka meragukan sesuatu, hal itu artinya mereka meyakini sesuatu. Tanpa
berawal dari rasa ragu, keyakinan itu tidak akan hadir dalam kehidupan.
Pandangan tentang kepastian bagi kaum skeptis adalah ketika ia ragu, sebab
setiap gerak hidupnya dipastikan oleh keraguan atas sesuatu.
Tokoh aliran ini adalah Pyrrho (365-275 SM). Pyrrho pernah menjadi
serdadu dalam pasukan Alexander, dan pernah bertugas bersama pasukan itu sampai
ke India. Pekerjaan itu tampaknya telah cukup memberinya pengalaman melancong,
dan kemudian dia melewatkan sisa hidupnya di kota kelahirannya Elis, di mana ia
meninggal pada tahun 275 SM.[3]
Pendekar-pendekar utama Skeptisisme adalah Pyrrho dari Elis,
Arkesilaos, Karneades, dan Sextus Empiricus. Dalam perkembangannya Skeptisime
pecah menjadi dua aliran. Aliran pertama adalah Skeptisisme Kuno yang memuat
ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh seperti Protagoras, Gorgias, Sokrates, dan
Demokritos yang sebenarnya dapat juga dipandang sebagai perintis dari
Skeptisisme. Aliran yang kedua adalah Skeptisisme Akademik yang berkembang
selepas mangkatnya Platon di Akademeia yang didirikannya.
1.
Skeptisisme
Kuno
Pyrrho
mengajarkan bahwa kebenaran tidak dapat diduga. Kita harus sangsi terhadap
sesuatu yang dikatakan orang benar. Apa yang orang terima sebagai kebenaran,
hanya berdasarkan kepada kebiasaan yang diterima dari orang ke orang. Dari dua
ucapan yang bertentangan tentang sesuatu, salah satunya pasti benar, sedangkan
yang lainnya salah. Utuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah dalam
pertentangan pendapat yang banyak, perlu ada criteria tentang kebenaran.
Kriteria itulah yang tidak ada. Oleh karena itu, kebenaran tidak dapat
diketahui. Manusia tidak bisa mencapai pengetahuan yang sebenarnya.
Seorang
yang cerdik dan pandai hedaklah menguasai diri jangan memberi keputusan. Sikap
semacam itu memberikan kesenangan rohaniah. Jalan yang sebaik-baiknya untuk
mencapai kesenangan hidup adalah menjauhkan diri dari mengambil keputusan,
dalam menentukan apa yang dikatakan bagus dan buruk, apa yang baik dan jahat,
apa yang adil dan tidak adil. Menjauhkan diri dari sikap memutus adalah jalan
yang ditunjukkan oleh filosofi Pyrrho untuk mencapai kesenangan hidup.[4]
2.
Skeptisisme
Akademik
Arkesilaos
dari Aeolis yang terletak di Anatolia (sekarang wilayah Turki) pernah menjadi
kepala Akademiea yang dibangun oleh Platon. Dia merintis tahap skeptik dari
akademiea yang kemudian dinamakan Skeptisisme Akademis. Menurut Arkesilaos,
seorang sekeptik adalah orang yang menolak untuk menerima teori filsafat atau
proposisi manapun sebagai penjamin rasional dan bersikukuh bahwa pengujian
lebih lanjut selalu diperlukan.[5]
Bagi Arkesilaos, akar dari persoalan itu terletak dalam kenyataan bahwa tidak
ada hal yang dapat diketahui secara pasti sehinggsa kita harus menangguhkan
persetujuan yang bersifat universal. Karena tidak ada yang dapat diketahui
dengan pasti, kita tidak boleh mempercayai apapun. Arkesilaos mengambil sikap
lebih moderat ketimbang kaum Skeptik Kuno. Arkesilaos sama sekali tidak menolak
kemungkinan untiuk mencapai pengetahuan. Hal yang penting bagi dia adalah bahwa
orang dikatakan bijaksana bila terhindar dari melakukan kesalahan.
Kemudian,
tokoh lain dari aliran ini adalah Karneades dari Kyrene (sekarang wilayah Lybia
Timur). Karneades adalah seorang Skeptik Akademik yang radikal.[6]
Karnedeas berpendapat bahwa kriteria bagi kebenaran tidak ada. Hasil pancaindra
dan pandangan bukan kebenaran sejati, karena segala hal dari pandangan
membutuhakan penjelasan. Akan tetapi, sekalipun kebenaran yang sebesar-besarnya
tidak dapat diketahui dan pengetahuan yang sahih tidak dapat dicapai, orang tak
perlu bersikap menolak terus-menerus dan menjauhkan diri dari mempertimangkan
sesuatu. Sebagai pegangan kehidupan sehari-hari, Karnedeas mengemukakan tiga
tingkat kemungkinan. Pertama, pandangan itu mungkin benar. Kedua,
kemungkinan itu tidak dapat dibantah. Ketiga, kemungkinan itu tidak
dapat dibantah dan telah ditinjau dari segala sudut.[7]
B.
ALIRAN EPIKURISME
Tokohnya adalah Epikouros (341-271 SM), lahir di Samos pada tahun
341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 271 SM dalam usia 70 tahun. Ia adalah
guru filsafat di Mytilen dan Lamp-sakos. Pada tahun 300 SM ia datang ke Athena
dan mendirikan sebuah sekolah filsafat dengan nama “Taman Kaum Epicuros”.[8]
Pokok ajarannya adalah bagaimana agar manusia itu dalam hidupnya
bahagia. Epikouros mengemukakan bahwa agar manusia dalam hidupnya bahagia
terlebih dahulu harus memperoleh ketenangan jiwa. Jadi apabila manusia dapat menghilangkan
rasa ketakutannya, maka manusia akan memperoleh ketenangan jiwa dan kemudian
memperoleh kebahagiaan.[9] Terdapat
tiga ketakutan yang mengganggu hidup manusia yaitu Petama, manusia takut
terhadap kemarahan dewa. Kedua, manusia takut terhadap kematian. Ketiga,
manusia takut terhadap nasib.[10]
Epikouros adalah seorang filosof yang menginginkan arah filsafatnya
untuk mencapai kesenangan hidup. Oleh karena itu, ia membagi filsafat dalam
tiga bagian yaitu logika, fisika, etika.
1.
Logika
Epikouros
berpendapat bahwa logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria
untuk kebenaran. Norma dan kriteria itu diperoleh dari pemandangan. Semua yang
kita pandang itu adalah benar. Baginya pandangan adalah kriteria yang
setinggi-tingginya untuk mencapai kebenaran. Logikanya tidak menerima kebenaran
sebagai hasil pemikiran. Kebenaran hanya dicapai dengan pemandangan dan
pengalaman.
2.
Fisika
Dari
ajaran fisika Epikouros hendak membebaskan manusia dari kepercayaan pada
dewa-dewa. Ia berpendapat bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai
dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh hukum-hukum fisika. Segala yang terjadi disebabkan
oleh sebab-sebab kausal dan mekanis. Tidak perlu dewa-dewa itu diikutsertakan
dalam hal-hal peredaran alam ini. Manusia merdeka dan berkuasa sendiri untuk menentukan
nasibnya. Manusia sesudah mati tidak akan hidup lagi, dan hidup didunia ini
terbatas pula lamanya, maka hidup itu adalah barang sementara yang tidak
ternilai harganya. Oleh karena itu, menurutnya hidup adalah mencari kesenangan.
Dari pandangan fisika yang dikemukakan Epikouros sangat terlihat bahwa ia
adalah penganut paham Atheisme. Teori-teori yang ia ciptakan adalah untuk
menihilkan peran Tuhan di dunia ini.
3.
Etika
Ajaran
etikanya ialah mencari kesenangan hidup. Kesenangan hidup menurut Epikouros
ialah barang yang paling tinggi nilainya. Mencari kesenangan hidup itu tidak
berarti memiliki kekayaan dunia sebanyak-banyaknya dengan tidak menghiraukan
orang lain. Kesenangan hidup berarti kesenangan badaniah dan rohaniah. Badan
merasa enak dan jiwapun merasa tentram. Yang paling penting dan mulia
menurutnya ialah kesenangang jiwa, karena kesenangan jiwa meliputi masa
sekarang, masa lampau, dan masa yang akan datang.
C.
ALIRAN STOAISME
Stoa berasal dari bahasa Yunani “e poikile stoa” yaitu suatu galeri
seni yang dilukis oleh Polignotos dekat pasar Athena. Stoisisme adalah corak
pandang ethic tentang upaya atau kiprah akal intensif yang diperlukan untuk
mencapai kebahagiaan utama hanya dalam perjalanan hidup yang dijalankan sesuai
dengan akal sehat yang bekerja sesuai dengan alam.[11] Tokohnya
adalah Zeno (366-264 SM) yang berasal dari Citium, Cyprus. Awalnya ia hanyalah
seorang saudagar yang sering berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah ditengah
laut. Dirinya selamat, namun hartanya habis tenggelam. Kemudian ia berhenti
berniaga dan pergi belajar filsafat.[12] Ia
belajar kepada Kynia dan Megaria, dan akhirnya belajar pada academia di bawah
pimpinan Xenokrates. Setelah keluar ia mendirikan sekolah sendiri yang disebut
Stoa. Nama itu diambil dari ruangan sekolahnya yang penuh ukiran ruang.
Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat
bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus harmoni terhadap
dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri. Untuk mencapai harmoni dengan
dunia (alam), manusia harus harmoni dengan dirinya sendiri. Apabila manusia
telah mencapai harmoni dengan dirinya sendiri, maka kebahagiaan bukan lagi
sebagai tujuan hidup, tetapi dalam keadaan harmoni dengan dirinya sendiri.
Itulah sesungguhnya manusia dalam keadaan apatheia, yaitu keadaan tanpa rasa
atau keadaan manusia dimana dirinya dapat menguasai segala perasaannya.[13]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Skeptisisme adalah suatu istilah yang berasal dari istilah Yunani Skepsis
yaitu menyelidiki. Sedangkan Skeptikos adalah orang yang memandang,
menyelidiki, atau menguji. Skeptisisme terutama mengajarkan sikap
kritis-analitis terdapat pendapat-pendapat yang tidak ditunjang dengan bukti
empiris. Kaum spektif menyangkal kemungkinan dicapainya dalam pengetahuan
manusia. Aliran ini berpendapat bahwa dibidang teoretis, manusia tidak akan
sanggup mencapai kebenaran. Pengetahuan kita tidak boleh dipercaya. Agar
berbahagia, manusia tidak harus mengambil keputusan yang pasti, tetapi mereka
selalu ragu-ragu. Mereka tidak mau terus atau langsung menerima ajaran-ajaran
yang datang dari ahli-ahli filosof masa yang lampau.
Tokoh Epikurisme adalah Epikouros (341-271 SM), lahir di Samos pada
tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 271 SM dala usia 70 tahun. Pokok
ajarannya adalah bagaimana agar manusia itu dalam hidupnya bahagia. Epikouros
mengemukakan bahwa agar manusia dalam hidupnya bahagia terlebih dahulu harus
memperoleh ketenangan jiwa.
Tokoh Stoaisme adalah Zeno (366-264 SM) yang berasal dari Citium,
Cyprus. Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat bahagia.
Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus harmoni terhadap dunia (alam)
dan harmoni dengan dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumohamidjojo, Budiono. 2012. Filsafat
Yunani Klasik. Yogyakarta: Jalasutra
Drs. A. Basori, Chairil. 1986. Filsafat.
Semarang: IAIN Walisongo
Drs. Hakim, Atang Abdul, dkk. 2008. Filasafat
Umum. Bandung: CV Pustaka Setia
Drs. Achmadi, Asmoro. 2001. Filsafat
Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Solomon, Robert C, dkk. 2002. Sejarah
Filsafat. Jogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Russell, Bertrand. 2002. Sejarah
Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1]
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani
Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra)
hal. 265
[2]
Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung:
CV Pustaka Setia) hal. 118
[3]
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
hal. 318
[4]
Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum,
(Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 119
[5]
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani
Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra)
hal. 268
[6]
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani
Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra)
hal. 269
[7]
Mohammad Hatta, Ibid, hal. 159
[8]
Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum,
(Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 112
[9] Drs.
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hal.
57
[10]
Drs. A. Chairil Basori, Filsafat, (Semarang: IAIN Walisongo) hal. 48
[11]
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani
Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra)
hal. 287
[12]
Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum,
(Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 115
[13]
Drs. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)
hal. 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar