Selasa, 14 Juni 2016

filsafat umum



ALIRAN FILSAFAT HELLENISME

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Filsafat Yunani klasik mencapai puncaknya dengan munculnya Aristoteles. Setelah ia meninggal dunia, pemikiran filsafat Yunani merosot. Lima abad sepeninggalan Aristoteles terjadi kekosongan sehingga tidak ada ahli pikir yang menghasilkan buah filsafatnya seperti Plato atau Aristoteles, sampai munculnya filosof Plotinus (204-270).
Setelah itu diisi oleh aliran-aliran besar yang pokok pemikiran filsafat dipusatkan pada cara hidup manusia sehingga orang yang dikatakan bijaksana adalah orang yang mengatur hidupnya menurut budinya. Cara untuk mengatur hidup inilah yang menjadi dasar dari Epikurisme, Stoaisme, dan Skeptisisme. Menurut sejarah filsafat, masa ini sesudah Aristoteles disebut zaman Hellenisme.
Hellenisme ini adalah nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara hidup orang Yunani seperti terdapat di Athena di zaman Pericles. Hellenisme pada abad ke 4 SM diganti oleh kebudayaan yunani, atau setiap usaha yang menghidupkan kembali cita-cita Yunani zaman modern. Filsafat Yunani dimulai pada pemerintahan Alexander Agung (356-23 SM) atau Iskandar Zulkarnain Raja Macedonia. Pada zaman ini terjadi pergeseran pemikiran filsafat, dari filsafat teoritis menjadi filsafat praktis.   

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud aliran Skeptisisme?
2.      Apa yang dimaksud aliran Epikurisme?
3.      Apa yang dimaksud aliran Stoaisme?











BAB II
PEMBAHASAN
A.    ALIRAN SKEPTISISME
Skeptisisme adalah suatu istilah yang berasal dari istilah Yunani Skepsis yaitu menyelidiki. Sedangkan Skeptikos adalah orang yang memandang, menyelidiki, atau menguji. Skeptisisme terutama mengajarkan sikap kritis-analitis terdapat pendapat-pendapat yang tidak ditunjang dengan bukti empiris. Kaum spektif menyangkal kemungkinan dicapainya dalam pengetahuan manusia.[1] Aliran ini berpendapat bahwa dibidang teoretis, manusia tidak akan sanggup mencapai kebenaran. Pengetahuan kita tidak boleh dipercaya. Agar berbahagia, manusia tidak harus mengambil keputusan yang pasti, tetapi mereka selalu ragu-ragu. Mereka tidak mau terus atau langsung menerima ajaran-ajaran yang datang dari ahli-ahli filosof masa yang lampau.[2]
Kaum skeptis adalah para Filosof yang meyakini bahwa keragu-raguan terhadap segala sesuatu merupakan fondasi keyakinan. Oleh karena itu, ketika mereka meragukan sesuatu, hal itu artinya mereka meyakini sesuatu. Tanpa berawal dari rasa ragu, keyakinan itu tidak akan hadir dalam kehidupan. Pandangan tentang kepastian bagi kaum skeptis adalah ketika ia ragu, sebab setiap gerak hidupnya dipastikan oleh keraguan atas sesuatu.
Tokoh aliran ini adalah Pyrrho (365-275 SM). Pyrrho pernah menjadi serdadu dalam pasukan Alexander, dan pernah bertugas bersama pasukan itu sampai ke India. Pekerjaan itu tampaknya telah cukup memberinya pengalaman melancong, dan kemudian dia melewatkan sisa hidupnya di kota kelahirannya Elis, di mana ia meninggal pada tahun 275 SM.[3]
Pendekar-pendekar utama Skeptisisme adalah Pyrrho dari Elis, Arkesilaos, Karneades, dan Sextus Empiricus. Dalam perkembangannya Skeptisime pecah menjadi dua aliran. Aliran pertama adalah Skeptisisme Kuno yang memuat ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh seperti Protagoras, Gorgias, Sokrates, dan Demokritos yang sebenarnya dapat juga dipandang sebagai perintis dari Skeptisisme. Aliran yang kedua adalah Skeptisisme Akademik yang berkembang selepas mangkatnya Platon di Akademeia yang didirikannya.
1.      Skeptisisme Kuno
Pyrrho mengajarkan bahwa kebenaran tidak dapat diduga. Kita harus sangsi terhadap sesuatu yang dikatakan orang benar. Apa yang orang terima sebagai kebenaran, hanya berdasarkan kepada kebiasaan yang diterima dari orang ke orang. Dari dua ucapan yang bertentangan tentang sesuatu, salah satunya pasti benar, sedangkan yang lainnya salah. Utuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah dalam pertentangan pendapat yang banyak, perlu ada criteria tentang kebenaran. Kriteria itulah yang tidak ada. Oleh karena itu, kebenaran tidak dapat diketahui. Manusia tidak bisa mencapai pengetahuan yang sebenarnya.
Seorang yang cerdik dan pandai hedaklah menguasai diri jangan memberi keputusan. Sikap semacam itu memberikan kesenangan rohaniah. Jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kesenangan hidup adalah menjauhkan diri dari mengambil keputusan, dalam menentukan apa yang dikatakan bagus dan buruk, apa yang baik dan jahat, apa yang adil dan tidak adil. Menjauhkan diri dari sikap memutus adalah jalan yang ditunjukkan oleh filosofi Pyrrho untuk mencapai kesenangan hidup.[4]
2.      Skeptisisme Akademik
Arkesilaos dari Aeolis yang terletak di Anatolia (sekarang wilayah Turki) pernah menjadi kepala Akademiea yang dibangun oleh Platon. Dia merintis tahap skeptik dari akademiea yang kemudian dinamakan Skeptisisme Akademis. Menurut Arkesilaos, seorang sekeptik adalah orang yang menolak untuk menerima teori filsafat atau proposisi manapun sebagai penjamin rasional dan bersikukuh bahwa pengujian lebih lanjut selalu diperlukan.[5] Bagi Arkesilaos, akar dari persoalan itu terletak dalam kenyataan bahwa tidak ada hal yang dapat diketahui secara pasti sehinggsa kita harus menangguhkan persetujuan yang bersifat universal. Karena tidak ada yang dapat diketahui dengan pasti, kita tidak boleh mempercayai apapun. Arkesilaos mengambil sikap lebih moderat ketimbang kaum Skeptik Kuno. Arkesilaos sama sekali tidak menolak kemungkinan untiuk mencapai pengetahuan. Hal yang penting bagi dia adalah bahwa orang dikatakan bijaksana bila terhindar dari melakukan kesalahan.
Kemudian, tokoh lain dari aliran ini adalah Karneades dari Kyrene (sekarang wilayah Lybia Timur). Karneades adalah seorang Skeptik Akademik yang radikal.[6] Karnedeas berpendapat bahwa kriteria bagi kebenaran tidak ada. Hasil pancaindra dan pandangan bukan kebenaran sejati, karena segala hal dari pandangan membutuhakan penjelasan. Akan tetapi, sekalipun kebenaran yang sebesar-besarnya tidak dapat diketahui dan pengetahuan yang sahih tidak dapat dicapai, orang tak perlu bersikap menolak terus-menerus dan menjauhkan diri dari mempertimangkan sesuatu. Sebagai pegangan kehidupan sehari-hari, Karnedeas mengemukakan tiga tingkat kemungkinan. Pertama, pandangan itu mungkin benar. Kedua, kemungkinan itu tidak dapat dibantah. Ketiga, kemungkinan itu tidak dapat dibantah dan telah ditinjau dari segala sudut.[7]

B.     ALIRAN EPIKURISME
Tokohnya adalah Epikouros (341-271 SM), lahir di Samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 271 SM dalam usia 70 tahun. Ia adalah guru filsafat di Mytilen dan Lamp-sakos. Pada tahun 300 SM ia datang ke Athena dan mendirikan sebuah sekolah filsafat dengan nama “Taman Kaum Epicuros”.[8]
Pokok ajarannya adalah bagaimana agar manusia itu dalam hidupnya bahagia. Epikouros mengemukakan bahwa agar manusia dalam hidupnya bahagia terlebih dahulu harus memperoleh ketenangan jiwa. Jadi apabila manusia dapat menghilangkan rasa ketakutannya, maka manusia akan memperoleh ketenangan jiwa dan kemudian memperoleh kebahagiaan.[9] Terdapat tiga ketakutan yang mengganggu hidup manusia yaitu Petama, manusia takut terhadap kemarahan dewa. Kedua, manusia takut terhadap kematian. Ketiga, manusia takut terhadap nasib.[10]
Epikouros adalah seorang filosof yang menginginkan arah filsafatnya untuk mencapai kesenangan hidup. Oleh karena itu, ia membagi filsafat dalam tiga bagian yaitu logika, fisika, etika.
1.      Logika
Epikouros berpendapat bahwa logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria untuk kebenaran. Norma dan kriteria itu diperoleh dari pemandangan. Semua yang kita pandang itu adalah benar. Baginya pandangan adalah kriteria yang setinggi-tingginya untuk mencapai kebenaran. Logikanya tidak menerima kebenaran sebagai hasil pemikiran. Kebenaran hanya dicapai dengan pemandangan dan pengalaman.
2.      Fisika
Dari ajaran fisika Epikouros hendak membebaskan manusia dari kepercayaan pada dewa-dewa. Ia berpendapat bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh hukum-hukum fisika. Segala yang terjadi disebabkan oleh sebab-sebab kausal dan mekanis. Tidak perlu dewa-dewa itu diikutsertakan dalam hal-hal peredaran alam ini. Manusia merdeka dan berkuasa sendiri untuk menentukan nasibnya. Manusia sesudah mati tidak akan hidup lagi, dan hidup didunia ini terbatas pula lamanya, maka hidup itu adalah barang sementara yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, menurutnya hidup adalah mencari kesenangan. Dari pandangan fisika yang dikemukakan Epikouros sangat terlihat bahwa ia adalah penganut paham Atheisme. Teori-teori yang ia ciptakan adalah untuk menihilkan peran Tuhan di dunia ini.
3.      Etika
Ajaran etikanya ialah mencari kesenangan hidup. Kesenangan hidup menurut Epikouros ialah barang yang paling tinggi nilainya. Mencari kesenangan hidup itu tidak berarti memiliki kekayaan dunia sebanyak-banyaknya dengan tidak menghiraukan orang lain. Kesenangan hidup berarti kesenangan badaniah dan rohaniah. Badan merasa enak dan jiwapun merasa tentram. Yang paling penting dan mulia menurutnya ialah kesenangang jiwa, karena kesenangan jiwa meliputi masa sekarang, masa lampau, dan masa yang akan datang.
                        
C.    ALIRAN STOAISME
Stoa berasal dari bahasa Yunani “e poikile stoa” yaitu suatu galeri seni yang dilukis oleh Polignotos dekat pasar Athena. Stoisisme adalah corak pandang ethic tentang upaya atau kiprah akal intensif yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan utama hanya dalam perjalanan hidup yang dijalankan sesuai dengan akal sehat yang bekerja sesuai dengan alam.[11] Tokohnya adalah Zeno (366-264 SM) yang berasal dari Citium, Cyprus. Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang sering berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah ditengah laut. Dirinya selamat, namun hartanya habis tenggelam. Kemudian ia berhenti berniaga dan pergi belajar filsafat.[12] Ia belajar kepada Kynia dan Megaria, dan akhirnya belajar pada academia di bawah pimpinan Xenokrates. Setelah keluar ia mendirikan sekolah sendiri yang disebut Stoa. Nama itu diambil dari ruangan sekolahnya yang penuh ukiran ruang.
Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus harmoni terhadap dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri. Untuk mencapai harmoni dengan dunia (alam), manusia harus harmoni dengan dirinya sendiri. Apabila manusia telah mencapai harmoni dengan dirinya sendiri, maka kebahagiaan bukan lagi sebagai tujuan hidup, tetapi dalam keadaan harmoni dengan dirinya sendiri. Itulah sesungguhnya manusia dalam keadaan apatheia, yaitu keadaan tanpa rasa atau keadaan manusia dimana dirinya dapat menguasai segala perasaannya.[13] 














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Skeptisisme adalah suatu istilah yang berasal dari istilah Yunani Skepsis yaitu menyelidiki. Sedangkan Skeptikos adalah orang yang memandang, menyelidiki, atau menguji. Skeptisisme terutama mengajarkan sikap kritis-analitis terdapat pendapat-pendapat yang tidak ditunjang dengan bukti empiris. Kaum spektif menyangkal kemungkinan dicapainya dalam pengetahuan manusia. Aliran ini berpendapat bahwa dibidang teoretis, manusia tidak akan sanggup mencapai kebenaran. Pengetahuan kita tidak boleh dipercaya. Agar berbahagia, manusia tidak harus mengambil keputusan yang pasti, tetapi mereka selalu ragu-ragu. Mereka tidak mau terus atau langsung menerima ajaran-ajaran yang datang dari ahli-ahli filosof masa yang lampau.
Tokoh Epikurisme adalah Epikouros (341-271 SM), lahir di Samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 271 SM dala usia 70 tahun. Pokok ajarannya adalah bagaimana agar manusia itu dalam hidupnya bahagia. Epikouros mengemukakan bahwa agar manusia dalam hidupnya bahagia terlebih dahulu harus memperoleh ketenangan jiwa.
Tokoh Stoaisme adalah Zeno (366-264 SM) yang berasal dari Citium, Cyprus. Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus harmoni terhadap dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Kusumohamidjojo, Budiono. 2012. Filsafat Yunani Klasik. Yogyakarta: Jalasutra
Drs. A. Basori, Chairil. 1986. Filsafat. Semarang: IAIN Walisongo
Drs. Hakim, Atang Abdul, dkk. 2008. Filasafat Umum. Bandung: CV Pustaka Setia
Drs. Achmadi, Asmoro. 2001. Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Solomon, Robert C, dkk. 2002. Sejarah Filsafat. Jogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Russell, Bertrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

                                                                               



[1] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra) hal. 265                                                     
[2] Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 118
[3] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal. 318
[4] Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 119
[5] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra) hal. 268
[6] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra) hal. 269
[7] Mohammad Hatta, Ibid, hal. 159
[8] Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 112
[9] Drs. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hal. 57
[10] Drs. A. Chairil Basori, Filsafat, (Semarang: IAIN Walisongo) hal. 48        
[11] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik, (Yogyakarta: Jalasutra) hal. 287
[12] Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia) hal. 115
[13] Drs. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hal. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar