NASIKH DAN MANSUKH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ilmu-ilmu Alquran (Ulumul Quran) adalah ilmu yang membahas tentang
sejarah perkembangan ilmu ini, peistiwa yang menjadi sebab turunnya ayat
(asbabun nuzul), tempat turunnya surat atau ayat, ungkapan-ungkapan awal surat,
cara membacanya, tentang ayat pembatal (nasikh) dan ayat yang dibatalkan
(mansukh), cara menulis lafadznya, ayat yang jelas dan yang samar, sreta ilmu
tentang penafsiran Alquran.
Salah satu diantara pembahasan dalam Ulumul Quran adalah Nasikh wal
Mansukh, yang akan kami paparkan dalam makalah ini, seperti pengertian Nasikh
Mansukh,
Dalam memperhatikan dalam marhalah-marhalah yang beriringan tentang
turunnya ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, nyatalah bahwa kita memerlukan
suatu ilmu yang menyoroti langkah-langkah itu dan membantu kita dalammeneliti
satu persatu, yaitu Ilmu Nasikh wal Mansukh yang dapat dipandang sebagai suatu
cara pengangsuran di dalam turunnya wahyu.
Pengetahuan yang mendalam bidang ini, memudahkan kita untuk
menentukan mana yang dahulu mana kemudian hari peristiwa-peristiwa yang telah
diterangkan dalam Alquran dan memperlihatkan hikmah Allah dalam mendidik makhluk,
bahkan menerangkan kepada kita bahwasannya Alquran adalah datang dari Allah,
karena Allahlah yang menghapuskan mana yang dikehendaki dan menetapkan mana
yang dikehendaki.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian nasikh dan mansukh?
2. Apa
ruang lingkup dan syarat-syarat nasikh?
3. Bagaimana
pembagian nasikh?
4. Apa
saja macam-macam nasikh?
5. Bagaimana
konsep-konsep nasikh?
6. Bagaimana
metode (manhaj) mengetahui nasikh?
7. Apa
saja pola-pola nasikh dalam Al-qur’an?
8. Apa
saja nasikh Al-qur’an?
9. Bagaimana
pendapat para ulama’ mengenai nasikh mansukh?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mampu
mengetahui pengertian nasikh dan mansukh
2. Mampu
mengetahui ruang lingkup dan syarat-syarat nasikh
3. Mampu
mengetahui dan mempelajari pembagian nasikh
4. Mampu
mengetahui macam-macam nasikh
5. Mampu
mengetahui dan mempelajari konsep-konsep nasikh
6. Mampu
mnegetahui metode (manhaj) mengetahui nasikh
7. Mampu
mengetahui pola-pola nasikh dalam Al-qur’an
8. Mampu
mengetahui dan mempelajari nasikh Al-qur’an
9. Mampu
mengetahui pendapat para ulama’ tentang nasikh mansukh
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nasikh dan Mansukh
1. Pengertian
Nasikh
Secara etimologi
(al-lughoh), naskh memiliki beberapa pengertian. Naskh adakalanya
berarti meniadakan (al-izalah), seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj/22:
52). Terkadang naskh juga berarti pengganti (al-tabdil), seperti firman
Allah dalam surat Al-Nahl/16: 101). Naskh kadang-kadang juga berarti
mengubah (al-tahwil) atau pengalihan (tahwiit), seperti hal warisan: “Tanasukh
Almawaris”, yaitu pengalihan (tahwil) warisan dari satu orang ke orang
lain. Dan kadang pula naskh berarti pemindahan atau pengutiapan
(al-naql), yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti
ungkapan “nasakhtu al kitab” yang berarti aku telah mengutib isi kitab
itu. Yaitu memindahkan atau mengutip satu kitab sama persis baik dari segi kata
(al-lafadz) maupun penulisannya (khath).
Sedangkan secara
terminologis para ulama’ berbeda pendapat didalam mendefinisikannya. Perbedaan
pendapat tersebut bersumber pada banyaknya pengertian naskh secara etimologis
sebagai mana yang telah dijelaskan. Di antara beberapa definisi tersebut, masih
sulit ditentukan secara pasti arti mana ybangb sesuai bagi Al-qur’an mengenai
naskh. Sehingga dikalangan ulama’, baik ulama’ mutaqadimin maupun ulama’
mutaakhirin, terjadi perbedaan pendapat di dalam mendefinisikannya sesuai
dengan pemahaman mereka terhadap arti etimologis.
Bagi ulama’ mutaqaddimin,
naskh mempunyai beberapa pengertian yaitu:
a. Pembatalan
yang diterapkan terlebih dahulu oleh hokum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan
yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
d. Penetapan
syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Dengan
demikia, mereka memenadang naskh sebagai dalil yang datang kemudian, sabagai
sesuatu pandangan yang leih umum daripada arti yng menggugurkan atau mengubah
hukum pertama, yang menjelaskan akhir masa berlakunya dan menjelaskan bahwa
mengamalkan hukum itu tidak diharuskan untuk selamanya oleh syara’. Atas dasar
inilah mereka memperluas dan menggunakan semua pengertian naskh, sehingga naskh
menurut mereka bisa mencakup semua bentuk penjelasan, yakni taqyid terhadap
yang mutlaq, takhshih terhadap yang ‘am, dll.
Sementara
menurut para ulama’ mutaakhirin bahwa naskh sebagai dalil yang datang
kemudian, berfungsi untuk mengguggurkan dan menghilangkan hukum pertama. Dengan
demikian, mereka mempersempit ruang lingkupnya dengan beberapa syarat, baik
yang menaskh maupun yang dinaskh. Hal ini dilakukan untuk membedakannya dengan
mukhashish (yang mentakhshish) terhadap yang ‘am dan muqayyid terhadap yang
mutlaq, dimana hal ini tidak diperhatikan oleh para ulama’ terdahulu, bahkan
meraka tidak terikat dengan masalah-masalah terseut. Mengenai hal ini Imam
al-Syatibi mengatakan “Yang tampak dari perkataan ulama’ terdahulu
(al-mutaqaddimin), bahwa penggunaan naskh menurut mereka lebih luas artinya
dari pada arti naskh menurut ushuliyin. Mereka menggunakan arti naskh itu untuk
makna taqyid terhadap yang mutlaq. Mereka pun menggunakan kata naskh itu untuk
menghapus hukum syar’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sebab semuanya
itu adalah lafadz musytarak dalam satu makna, yaitu bahwa naskh menurut istilah
ulama’ mutaakhirin berarti perkara (perintah) yang terdahulu itu tidak dimaksud
untuk dikenakan taklif (beban), tetapi yang dimaksud untuk jadi beban adalah
yang datang kemudian. Jadi yang pertama (al-mansukh) tidak perlu untuk
diamalkan, melainkan kedualah (al-nasikh) yang harus diamalkan.
Atas
dasar inilah, kemudian para ulama’ muta’akhirin mendefinisikan naskh sebagai
berikut: “Menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
Dalil ini biasa disebut al-naskh (yang menghapus). Sedangakan hukum yang
pertama al-mansukh (yang terhapus). Sementara itu penghapusan hukum tersebut
dinamakan al-naskh”. Definisi tersebut menurut Dr. Subhi al-Shalih dipandang
sebagai defisi terminology yang tepat karena sesuai dengan makna naskh dalam
bahasa arab yaitu meniadakan (al-izalah) dan menghapus (al-raf’u).
Sementara
itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid makna naskh sebagai penghapusan adalah
mengganti satu teks (a;-nash) dengan teks yang lain dengan tetap mempertahankan
kedua teks dimaksud. Kesimpulan Abu Zaid didassarkan pada dua teks Al-qur’an
yaitu Makiyyah dan Madaniyyah. Jadi dapat diambil kesimpulan naskh yaitu
penghapusan atau pembatalan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang
kemudian yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau implicit.
2. Pengertian
Mansukh
Mansukh secara
etimologi artinya dihapus. Sedangkan menurut terminology mansukh yaitu
dihapuskannya atau dibatalkannya suatu hukum dengan hukum yang baru, karena
adanya dalil atau alasna yang menurut Allah leih atau minimal sepadan.
Contohnya, dihapuskannya sholat menghadap ke Baitul Maqdis (masjidil Aqsha)
karean, ada perintah untuk menghadap ke ka’bah di Masjidil Haram.
B.
Ruang
Lingkup dan Syarat-syarat Nasikh
Mengenai
ruang lingkup nasikh, Manna’ al Qattan menyimpulkan bahwa nasikh hanya terjadi
pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun
yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar (perintah)
atua nahyil (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan
akidah, zat Allah, siafat-sifat Allah, kitab-kitab allah, para rasulNya, dan
hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlaq atau dengan pokok-pokok
ibadah muamalah. Hal itu karena semua syari’at illahi tidak lepas dari
pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (usul) semua syari’at adalah
sama. Firman Allah dalam surat As Syura ayat 13 “Dia telah mensyari’atkan bagi
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah
kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa,
dan Isa yaitu: tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya”. Naskh tidak terjadi dalam berita, khaar, yang jelas-jelas tidak bermakna
talab ( tuntunan, perintah, atau larangan) seperti janji (al wa’d) dan ancaman
(al wa’id) .
Adapun
syarat-syarat naskh yaitu:
1. Yang
dimansukhkan adalah hukum syara’
2. Dalil
yang digunakan untuk mengangkat atau menghapus hukum itu ialah dalil syara’ yang
datang kemudian dari teks hukum yang di mansukhkan.
3. Khitab
yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut. Yang demikian tidak dinamakan naskh.
Syarat-syarat
nash-nash yang dapat dinasikhkan menurut Muhammad Abu Zahrat yaitu:
1. Hukum
yang dinasikh kan tidak menunjukkan berlaku abadi.
2. Hukum
yang dinasikhkan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang
baiknya atau buruknya.
3. Haruslah
ayat nasikhat datang kemudian dari mansukhat.
4. Keadaan
kedua nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama
lain.
5. Nash
sebagai nasikh harus lebih kuat atau paling tidak, sama kuatnya.
C.
Pembagian
Nasikh
Umumnya
para ulama’ membagi nasikh menjadi empat bagian yaitu:
1. Al-qur’an
dinasikhkan dengan Al-qur’an. Contohnya, iddah isteri yang ditinggal mati
suaminya.
2. Al-qur’an
dinasikhkan dengan hadits mutawatir. Misalnya haramnya tiap bangkai dinasikhkan
dengan hadits هو الطهور ماؤه الحل ميتته .
3. Nasikh
hadits dengan Al-qur’an. Misalnya larangan campur isteri pada bulan Ramadhan,
kemudian dihalalkan oleh Al-qur’an surat Al aqarah ayat 187. Demikian pula
kewajiban puasa Asyura yang telah dilakukan oleh nabi SAW, kemudian dinasikhkan
oleh kewajiban puasa pada bulan Ramadhan.
4. Nasikh
hadits dengan hadits. Misalnya larangan tentang ziarah kubur kemudian
dibolehkan nabi dengan sabdanya “كنت نهيتكم عن زيارة
القبور الا فزروها“.
Dilihat dari sudut teks
atau nashnya naskh terbagi kepada:
1. Naskh
bacaan dan hukumnya sekaligus, seperti hadits yang diriwayatkan Aisyah tentang
keharaman akibat susuan seperti dikatakannya “عشر
رضعات معلومات”.
2. Naskh
bacaan dan hukumnya tetap, contohnya “الشيخ والشيخة
اذا زنيا فارجموها”.
3. Dinasikhkan
hukumnya dan tetap bacaannya. Contohnya kewajiban isteri tetap di rumah suami
dengan memperoleh nafkah selama 1 tahun penuh, dinaskhkan oleh ayat yang
menentukan iddah mati 4 bulan 10 hari.
Faedah
ditetapkannya bacaan dan dinaskhkan hukumnya ada dua yaitu: pertama, mengingat
Al-qur’an kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua, untuk
meringankan beban hukum bagi para mukallaf.
Abd
Wahab Al-khallaj menjelaskan bahwa tidak semua nash dalam Al-qur’an atau hadits
pada mas Rasulullah dapat dinaskhkan. Diantara ciri-ciri yang tidak dapat di
naskhkan ialah:
1. Nash-nash
yang berisi hukum-hukum pokok yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia,
baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kewajiban percaya kepada
Allah, Rasul, kitabNya, hari kiamat dan yang menyangkut dengan pokok-pokok
akidah dan ibadah lainnya.
2. Nash-nash
yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang kuat atau ditentukan berlaku
selamanya. Misalnya tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an)
untuk selamanya. Dalam hadits misalnya: “الجهاد ماض
الى يوم القيامة”.
3. Nash-nash
yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau.
Misalnya berita bangsa Tsamud, Ad. Menaskhkan yang demikian berarti mendustakan
berita tersebut.
D.
Macam-macam
Nasikh
Pembagian
naskh ternyata berbeda-beda. ‘Abd al-Wahhab Khallaf sebagaimana Muhammad Abu
Zahrat membagi naskh menjadi 4 macam yaitu:
1. Naskh
Sharih ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya suatu hukum. Misalnya tentang
perubahan qiblat sembahyang, dari menghadap bait al-Maqdis diubah menjadi
menghadap ke ka’bah.
2. Naskh
Dhimni yaitu naskh secara implicit (tersirat) yang tidak jelas. Naskh ini
diketahui karena ada dua nash yang saling bertentangan dan tidak bisa
dikompromikan, kemudian diketahui bahwa kedua nash itu datangnya tidak
sekaligus pada waktu yang sama. Maka ayat (nash) kedua berfungsi sebagai
nasikhat dan yang pertama menjadi mansukhat.
3. Naskh
Kulli yaitu pembatalan hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan.
Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada orang tua dan kerabat oleh ayat
waris dan juga hadis لا وصية لوراث.
4. Naskh
Juz’i ialah pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum sebelumnya oleh yang
datang kemudian. Misalnya ayat tentang hukuman jilid (cambuk) 80 kali bagi
orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4 orang saksi, oleh ayat li’an agi
suami isteri . Kalau diperhatikan maka bentuk-bentuk diatas bukanlah naskh dalam arti sebenarnya. Tetapi hanya
takhshish dari ‘am dan taqyid dari mutlaq.
E.
Konsep Nasakh: Kontroversi
Interpretasi atas Teks
Sebagaimana penjalasan sebelumnya, bahwa antara ulama mutaqaddimin
dan mutaakhirin terjadi perbedaan diametral dalam memahami konsep naskh dalam
al quran. Perbedaan pendapat tersebut bermuara pada pemahaman mereka terhadap
beberapa teks al quran yang secara ekplisit menjelaskan tentang adanya naskh dalam
al quan. Di antaranya teks al quran yang mendukung teori tersebut adalah:
“ ayat dan teks lain saja yang Kami naskhkan, aau kami jadikan
(manusia) lupa keduanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu?
Para sarjana klasik (mutaqaddimin) menafsirkan teks di atas dan
teks lain yang senada sebagai adanya sejumlah teks al quran yang dihapuskan.
Mereka menggunakan terma naskh ini mencakup semua bentuk penjelasan, sehingga
naskh memiliki makna yang lebih umum ketimbang hanya sekedar penghapusan syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian. penggunaan terma naskh dalam
pengertian yang umu oleh generasi awal sangat mendorong meningkatnya jumlah
teks-teks al quran yang dibatlakn hingga mencapai ratusan. Mereka tanpa ragu
lagi membolehkan menetapkan sendiri mana teks-teks yang nasikh dan mana
teks-teks yang mansukh. Mereka berusaha membuktikan sebanyak-banyaknya
teks-teks yang mansukh dalam al quran.
Teks-teks al quran yang oleh ulama generasi awal telah dimansukh
dengan jumlahnya yang mencapai proporsi yang mengerikan tersebut oleh ulama
mutaakhirin ditekan sedemikian rupa sehingga jumlahnya bisa diminimalisir.
Al-Syuyuti misalnya mengurangi teks-teks
yang dibatalkan dari beratus-ratus menjadi hanya dua puluh teks saja. Bahkan
Abu Muslim al-Asfihani penganut madzhab mu’tazilah menolak sepenuhnya konsep
naskh ini. Menurutnya, naskh tidak mungkin terjadi menurut syara’, meskipun
secara logika dapat diterima. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa teori naskh
dengan makna ‘penghapusan’ bertentangan dengan firman Allah dalam QS>
Fushshilat/41:42, sebagai berikut:
“ yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji” (QS. Fushshilat/41: 42)
Berdasarkan ayat ini, Abu Muslim al-Asfihani lebih suka menyebut
term nasakh dengan term lain, yaitu
takhshish (pengkhususan arti). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ahmad
Hasan, di mana ia tidak mengakui adanya naskh dalam al-Qur’an, sebab jika
memang dalam al-Qur’an terdapat teks-teks yang mansukh tentu Rasulullah saw
akan menjelaskannya.
Selain beberapa argumentasi sebagaimana disebutkan diatas, mereka
yang menolak adanya naskh dalam al-Qur’an dengan pengertian ini. Juga beralasan
bahwa pembatalan hukum oleh Allah swt mengakibatkan satu dari dua
kemustahilan-Nya, yaitu: 1. Ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau
membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain. Dan 2. Kesia-siaan dan permainan
belaka.
Pendapat Abu Muslim al-Asfihani dan mereka yang sefaham dengannya
mendapatkan reaksi yang keras dari para ulama lainnya, yang mengakui adanya
konsep naskh dalam al-Qur’an. Menurut ulama yang mengakui adanya konsep naskh
berpendapat bahwa ada perbedaan yang prinsipil antara term takhshish dengan
naskh. Untuk term yang disebutkan terakhir dapat didefinisikan sebagai
menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan
untuk term yang disebutkan pertama dapat didefinisikan sebagai membatasi
keumuman suatu lafadz hanya pada bagian-bagianya.
Pencampura-adukan pemaknaan antara term takhshish dengan naskh
sebagaimana dilakukan oleh Abu Muslim dan kawan-kawannya yang sefaham, menurut
penilaiaan Subhi al-Shalih sebagai suatu tindakan yang idak sopan terhadap
allah. Sebab, ia lebih memilih term takhshish yang dibuatnya sendiri ketimbang
term naskh yang jelas-jelas dinyatakan oleh al-Qur’an. Demikian juga
sebaliknya, bagi mereka yang mengakui adanya konsep naskh dalam al-Qur’an juga
terlalu berlebih-lebihan dalam menetapkan teks-teks yang mansukh, sehingga
jumlahnya pun mencapai proporsi yang sangat mengerikan itu. dengan pemahaman
yang demikian dapat berimplikasi pada terbukanya kesempatan yang seluas-luasnya
bagi orang untuk mencampuradukkan pengertian naskh dengan al-bada’.
Term al-bada’ dalam bahasa arab memiliki dua makna, pertama,
al-zhuhuru ba’da al-khafa’, yaitu menampakkan setelah sebelumnya tersembunyi.
Kedua, nasy’ah ra’yin jadidin lam yakun maujudan, yaitu munculnya pemikiran
baru yang sebelumnya tidak ada.
Dari kedua pengertian di atas, menjadi jelaslah bahwa al-bada’
sangat mustahil terjadi pada diri Tuhan. Oleh karenanya, Tuhan harus bersih
dari sifat al-bada’ ini.
F.
Metode
(Manhaj) Mengetahui Al-qur’an
Berkaitan
dengan pentingnya ilmu pengetahuan mengetahui masalah ini, Manna Al-qattan
telah menetapkan tiga metode yang dapat dipakai untuk mengetahui bahwa suatu
ayat dikatakan nasikh dan ayat lain sebagai mansukh, ketiga metode tersebut
adalah: Pertama, berdasarkan
informasi yang jelas (al-naql al-sharih) yang didapat dari nabi dan sahabat,
seperti hadits: “Kuntu nahaitukum ‘an ziarah al-qubr, ala fazuruha” (aku
dulu melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah). Demikian juga
ungkapan Anas tentang kisah sumur maunah, berkenaan dengan mereka turunlah ayat
Al-qur’an yang pernah kami baca sampai dihapus.
Kedua,
berdasarkan
konsensus (ijma’) umat bahwa ini nasikh dan ayat itu mansukh.
Ketiga,
berdasarkan
studi sejarah tentang mana ayat-ayat yangturun terlebih dahulu (al mutaqoddam)
dan mana yang terkemudian (al mutaakhir).
Lebih
lanjut Qattan menegaskan bahwa nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan
ijtihad, atau berdasarkan pendapat para mufasir, ataupun berdasarkan dalil-dalil
yang secara dhohir Nampak kontradiktif. Demikian juga, nasikh tidak dapat
ditetapkan berdasarkan terbelakangnya keIslaman seseorang dari dua perawi.
G.
Pola-pola Nasikh dalam Alquran
Ada sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa ada beberapa wahyu yang
tidak terekam secara tertulis di dalam mushaf resmi Utsmani. Pengetahuan ini
akan banyak ditemukan dalam beberapa bahasan yang secara khusus berbicara
tentang Nasikh dan Mansukh dalam
Alquran.
Atas dasar itulah para ulama ketika membahas masalah Nasikh dan
Mansukh membagi Naskh ke dalam tiga kategori utama, yaitu pertama, wahyu
yang terhapus, baik hukum maupun teksnya di dalam mushaf (naskh al hukm wa
al tialwah jami’an); kedua, wahyu yang terhapus teks atau bacaannya saja,
sedanagkan hukumnya masih tetap berlaku (naskh al tilawah duna al hukm);
ketiga, wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya
masih terdapat dalam mushaf (naskh al
hukm duna al tilawah).
Tipe yang disebutkan pertama adalah unit-unit teksnya masih sempat
direkam dalam sejumlah prophetologia, tetapi baik teks maupun hukumnya
dinyatakan terhapus. Dalam beberapa riwayat, tipe yang pertama ini diakui
eksistensinya sebagai bagian dari Alquran pada masa tertentu. Contoh yang
sering disebut di antaranya adalah riwayat yang datang dari Aisyah tentang
terjadinya muhrim karena sepuluh kali susuan, kemudian dinaskh dengan lima kali
susuan. Berikut artinya: “Aisyah berkata: Di antara yang diturunkan kepada
beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui (ma’lum) itu menyebabkan muhrim
kemudian (ketentuan) itu dinaskh oleh lima susuan yang diketahui. Maka ketika
Rasulullah wafat, lima susuan ini tetap dibaca sebagai bagian dari teks
AlQuran”.
Hadits di atas adalah hadits shahih, meskipun berstatus mauquf,
yaitu disandarkan kepada Aisyah. Meskipun demikian, hadits tersebut dihukumi
marfu’, yaitu setingkat dengan hadits yang datang dari Nabi saw.
Kategori kedua dari naskh mansukh adalah beberapa unit wahyu yang terhapus
teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku. Contoh seperti ayat Rajm,
yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam bagi orang yang berzina.
Adapun ayat
rajm tersebut adalah:
الشيخ والشيخة اذازنيا فارجموهما البتة نكالا من الله والله عليم حكيم
“Apabila seseorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa
berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan, dan Tuhan
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam beberapa
riwayat dinyatakan bahwa teks ayat di atas termasuk bagian dari teks AlQuran
yang dinaskh. Menurut riwayat tersebut bahwa posisi semula ayat ini berada di
dalam QS. Al Ahzab:33, sementara itu dalam riwayat Bukhori menyebutkan bahwa
posisi semula ayat tersebut berada di dalam QS. An Nur: 24.
Namun, terdapat perbedaan di antara keduanya, di mana dalam QS. An
Nur terdapat batasan terhadap hukuman perbuatan zina dengan cambukan sementara
dalam ayat di atas tidak demikian. Di sisi lain, secara fraseologis, term asy
syaikh, asy syaikhah dan al battah tidak pernah digunakan dalam Al Quran.
Dengan demikian keberadaan ayat di atas sebagai bagian dari teks Al Quran
sangat meragukan.
Kategori terakhir
dari naskh mansukh adalah wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks
atau bacaannya masih terdapat dalam mushaf. Bentuk naskh yang terakhir ini
merupakan materi yang banyak dibahas. Secara kuantitas, jumlah teks yang dinaskh untuk kategori yang
terakhir ini sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada abad ke-8 hingga
abad ke-11 telah mencapai suatu proporsi yang mengerikan dan sangat dramatis
dalam sejarah pemikiran Islam. Hal ini disebabkan karena percampuradukan
pemaknaan antara konsep naskh dengan term-term lain yang hampir mempunyai
kesamaan fungsi, seperti takhlish terhadap yang ‘am, taqyid terhadap yang
muthlaq, dan yang sejenisnya. Dalam beberapa literatur ditulis bahwa jumlah
ayat yang dinaskh mencapai ratusan ayat. Ibn Syihab al Zuhri menyebut 42 ayat
yang mansukh, An Nahhas mengidentifikasi 138 ayat, Ibn Salamah mengemukakan 238
ayat. Tetapi pada masa selanjutnya, kuantuitas ayat-ayat yang dinaskh sedikit
demi sedikit mulai direduksi. Pada masa As Suyuthi, jumlahnya diminimalisir
menjadi 20 ayat saja. Sedangkan pada masa Syah Wali Allah jumlah yang dinaskh
tinggal 5 ayat saja.
Imam As suyuthi
dengan mengutip perkataan Al Qadli Abu Bakar ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa
sedikitnya ada dua hikmah terhadap ayat yang dinaskh hukumnya tetapi teks atau
bacaannya tetap terekam di dalam mushaf. Pertama, bahwa Al Quran
disamping dibaca untuk diketahui hukumnya dan diamalkan, juga dibaca karena ia
kalam Allah yang dengan membacanya akan mendapatkan pahala; maka dibiarkannya
bacaan tersebut karena hikmah ini. Kedua, bahwa naskh pada ghalibnya
adalah untuk meringankan, maka dibiarkannya tilawah tersebut untuk mengingatkan
nikamt yang diberikan ini.
H.
Otoritas Teks yang Boleh menasakh
Para sarjana klasik maupun belakangan yang mengakui adanya konsep
naskh dalam Al Quran telah sepakat tentang kebolehan teks Al Quran menaskh teks
Al Quran yang lainnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang kebolehan teks as
sunnah menaskh teks Al Quran. Kontradiksi semacam ini muncul lebih disebabkan
karena tidak adanya penbedaan antara teks-teks keagamaan, dan juga tidak
dipahaminya batas-batas yang memisahkan antara teks-teks tersebut.
Sebelum beranjak lebih jauh tentang kontradiksi kebolehan teks as
sunnah menskh teks AlQuran, perlu dikemukakan beberapa pola naskh yang biasa
terjadi dalam sistem hukum Islam. Menurut Az Zarqani naskh dapat dibedakan ke
dalam empat bagian, di antaranya: 1) naskh al Quran dengan Al quran; 2) naskh
Al Quran dengan As sunnah; 3) naskh as sunnah dengan Al Quran; dan 4) naskh as
sunnah dengan as sunnah.
Kategori yang disebutkan pertama- naskh Al Quran dengan Al quran
telah diakui kebolehannya. Hal ini didasarkan dalam firman Allah QS. Al Baqarah
ayat 106.
Sedangkan kategori
yang disebutkan kedua, para ulama berbeda pendapat yang kontradiktif yaitu ulama yang membolehkan terjadinya naskh
Al Quran dengan as sunnah dan kedua ulama yang menolak adanya naskh Al Quran
dengan as sunnah.
Kategori ketiga adalah naskh as sunnah dengan al Quran. Jenis yang
ketiga ini juga diperselisihkan, sebagian ulama ada yang membolehkan dan
sebagian lainnya menolak. Bagi ulama yang membolehkan kategori ketiga ini
bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebab antara as sunnah dengan Al Quran adalah
sama-sama wahyu yang datang dari Allah. Sedangkan bagi mereka yang menolak
berargumen dengan firman Allah dalam QS. An Nahl: 44.
Sedangakan untuk kategori yang terakhir, dapat dibagi menjadi empat
macam, yaitu: 1)naskh sunnah mutawattir dengan mutawattir; 2)naskh sunnah ahad
denagn ahad; 3)naskh sunnah ahad dengan mutawatir; dan 4) naskh sunnah
mutawatir dengan ahad. Tiga jenis yang disebutkan pertama diperbolehkan, baik
menurut akal maupun syara’, sedangkan untuk jenis yang disebutkan terakhir,
ulama sepakat bahwa naskh sunnah mutawatir dengan ahad boleh menurut akal,
sedangkan menurut syara’ masih diperselisihkan. Mereka berargumen bahwa hadits
mutawatir bersifat Qath’i al tsubut, sedangkan khabar ahad bersifat dzanniy al
tsubut. Yang qath’i tidak dapat dihapus dengan yang dzanniy, sebab hadits
mutawatir mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan hadits ahad.
Oleh karenanya, yang kuat tidak dapat dihapuskan oleh yang lebih lemah
kedudukannya.
I.
Pendapat
Ulama’ tentang Nasikh
1. Menerima
adanya naskh
Abd al-wahab al-kallaf
berpendapat bahwa memang terdapat naskh sebelum Rasulullah wafat. Namun setelah
wafat tidak ada naskh itu. Al syuyuti lebih jauh merinci ayat-ayat nashk dan
macam-macam naskh. Muhammad bin Abd Allah al Zarkasyi cenderung menolak naskh.
Jumhur ulama menyetujui adanya naskh termasuk imam syafii dan imam-imam
lainnya. Alasan adanya naskh sebagaimana yang telah disebut di atas.
Asal mula timbulnya
teori naskh ialah adanya ayat-ayat yang menurut anggapan mereka saling
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Menurut al Nahhas (W. 388 H)
ayat-ayat yang mansukhat sebanyak 100 ayat lebih. Menurut al Suyuthi (W 911 H)
telah menyesuaikan ayat-ayat yang nampaknya bertentangan, tinggal 20 ayat yang
tak dapat disesuaikan. Al Syawkani (W. 1250 H) berpendapat bahwa ayat-ayat yang
tidak dapat dikompromikan yang semula 20 ayat akhirnya tinggal 8 ayat. Syah waliyullah
(1703-1762 H) bahkan memakai arti naskh dalam arti yang lebih umum, sehingga
menurut pendapatnya ayat-ayat yang telah dinasakhkan mencapai 500 ayat.
2. Menolak
Adanya Nasakh
Diantara mereka yang
menolak adanya naskh di dalam al qur’an ialah Abu Musllim Al Isfahani (W. 322
H). ia kemudian di ikuti oleh ulama mutaakhirin.
Diantara alasan mereka ialah:
a. Sekiranya
dalam al qur’an ada naskh, maka berarti dalam al qur’an ada yang salah satu
atau batal. Sedangkan dalam Al qur’an sendiri tidak ada kebatalan.
b. Dalil
yang dijadikan alasan adanya naskh perlu mendapat peninjauan lebih lanjut.
c. Pada
ayat berikutnya yang dijadikan alasan adanya
naskh juga dapat ditakwil sesuai dengan konteks ayat-ayat sesudah dan
sebelumnya.
d. Tentang
ayat-ayat yang dikatakan telah dihapuskan bacaannya misalnya tentang rajm, sama
diragukan kebenarannya. Ini nampak kata Umar sendiri.
e. Tidak
adanya kesepakatan para ulama berapa jumlah yat yang telah dinaskh.
f. Tidak
ada penegasn nabi tentang ada atau tidaknya naskh.
g. Adanya
ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan,
belum dapat menjadi jaminan tentang adanya naskh.
h. Disamping
alasan-alasan tersebut juga tidak jelas hikmah adnya naskh.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Naskh
ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh
ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan mansukh
ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti. Naskh hanya terjadi pada perintah dan
larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan
dengan kalimat berita yang bermakna amar (perintah) atau nahi (larangan), tidak
ada naskh ayat tentang persoalan akidah, dzat Allah, sifat-sifat Allah, kita
Allah, para RasulNya, dan hari kemudian. Para ulama’ bereda pendapat tentang
ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al-qur’an. Sedangkan hadits yang dinaskh oleh
ayat Al-qur’an jumhur ulma’ mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al-qur’an
yang dinaskh oleh hadits para ulama’ sepakat hal itu tidak ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. Baidan, Nashruddin. 2011. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta:
Pustaka Pealajar
Drs.
Al-hafidz, Ahsin W. 2006. Kamus Ilmu Al-qur’an. Jakarta: Amzah
Hamzah,
Muchotob. 2003. Studi Al-qur’an Komprehensif. Wonosobo: Gama Media
Ash
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-ilmu Al-qur’an. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra
Dr.
As-shalih, Subhi. 2011. Membahas Ilmu-ilmu Al-qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus
Drs.
H. Masyhur, Kahar. 1992. Pokok-pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Ichwan,
Mohammad Nor. 2008. Studi Ilmu-ilmu Alqur’an. Semarang: Rasail
Ichwan,
Mohammad Nor. 2002. Memahami Bahasa Alqur’an. Semarang: Pustaka Pelajar
Al
Qattan, Manna’ Khalil. 2009. Pengantar Studi Al-qur’an. Yogyakarta:
Teras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar