Selasa, 14 Juni 2016

nasikh mansukh Alqur'an



NASIKH DAN MANSUKH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ilmu-ilmu Alquran (Ulumul Quran) adalah ilmu yang membahas tentang sejarah perkembangan ilmu ini, peistiwa yang menjadi sebab turunnya ayat (asbabun nuzul), tempat turunnya surat atau ayat, ungkapan-ungkapan awal surat, cara membacanya, tentang ayat pembatal (nasikh) dan ayat yang dibatalkan (mansukh), cara menulis lafadznya, ayat yang jelas dan yang samar, sreta ilmu tentang penafsiran Alquran.
Salah satu diantara pembahasan dalam Ulumul Quran adalah Nasikh wal Mansukh, yang akan kami paparkan dalam makalah ini, seperti pengertian Nasikh Mansukh,
Dalam memperhatikan dalam marhalah-marhalah yang beriringan tentang turunnya ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, nyatalah bahwa kita memerlukan suatu ilmu yang menyoroti langkah-langkah itu dan membantu kita dalammeneliti satu persatu, yaitu Ilmu Nasikh wal Mansukh yang dapat dipandang sebagai suatu cara pengangsuran di dalam turunnya wahyu.
Pengetahuan yang mendalam bidang ini, memudahkan kita untuk menentukan mana yang dahulu mana kemudian hari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan dalam Alquran dan memperlihatkan hikmah Allah dalam mendidik makhluk, bahkan menerangkan kepada kita bahwasannya Alquran adalah datang dari Allah, karena Allahlah yang menghapuskan mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian nasikh dan mansukh?
2.      Apa ruang lingkup dan syarat-syarat nasikh?
3.      Bagaimana pembagian nasikh?
4.      Apa saja macam-macam nasikh?
5.      Bagaimana konsep-konsep nasikh?
6.      Bagaimana metode (manhaj) mengetahui nasikh?
7.      Apa saja pola-pola nasikh dalam Al-qur’an?
8.      Apa saja nasikh Al-qur’an?
9.      Bagaimana pendapat para ulama’ mengenai nasikh mansukh?

C.    TUJUAN MASALAH
1.      Mampu mengetahui pengertian nasikh dan mansukh
2.      Mampu mengetahui ruang lingkup dan syarat-syarat nasikh
3.      Mampu mengetahui dan mempelajari pembagian nasikh
4.      Mampu mengetahui macam-macam nasikh
5.      Mampu mengetahui dan mempelajari konsep-konsep nasikh
6.      Mampu mnegetahui metode (manhaj) mengetahui nasikh
7.      Mampu mengetahui pola-pola nasikh dalam Al-qur’an
8.      Mampu mengetahui dan mempelajari nasikh Al-qur’an
9.      Mampu mengetahui pendapat para ulama’ tentang nasikh mansukh



































BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh
1.      Pengertian Nasikh
Secara etimologi (al-lughoh), naskh memiliki beberapa pengertian. Naskh adakalanya berarti meniadakan (al-izalah), seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj/22: 52). Terkadang naskh juga berarti pengganti (al-tabdil), seperti firman Allah dalam surat Al-Nahl/16: 101). Naskh kadang-kadang juga berarti mengubah (al-tahwil) atau pengalihan (tahwiit), seperti hal warisan: “Tanasukh Almawaris”, yaitu pengalihan (tahwil) warisan dari satu orang ke orang lain. Dan kadang pula naskh berarti pemindahan atau pengutiapan (al-naql), yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti ungkapan “nasakhtu al kitab” yang berarti aku telah mengutib isi kitab itu. Yaitu memindahkan atau mengutip satu kitab sama persis baik dari segi kata (al-lafadz) maupun penulisannya (khath).  
Sedangkan secara terminologis para ulama’ berbeda pendapat didalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada banyaknya pengertian naskh secara etimologis sebagai mana yang telah dijelaskan. Di antara beberapa definisi tersebut, masih sulit ditentukan secara pasti arti mana ybangb sesuai bagi Al-qur’an mengenai naskh. Sehingga dikalangan ulama’, baik ulama’ mutaqadimin maupun ulama’ mutaakhirin, terjadi perbedaan pendapat di dalam mendefinisikannya sesuai dengan pemahaman mereka terhadap arti etimologis.
Bagi ulama’ mutaqaddimin, naskh mempunyai beberapa pengertian yaitu:
a.       Pembatalan yang diterapkan terlebih dahulu oleh hokum yang ditetapkan kemudian.
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c.       Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
d.      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Dengan demikia, mereka memenadang naskh sebagai dalil yang datang kemudian, sabagai sesuatu pandangan yang leih umum daripada arti yng menggugurkan atau mengubah hukum pertama, yang menjelaskan akhir masa berlakunya dan menjelaskan bahwa mengamalkan hukum itu tidak diharuskan untuk selamanya oleh syara’. Atas dasar inilah mereka memperluas dan menggunakan semua pengertian naskh, sehingga naskh menurut mereka bisa mencakup semua bentuk penjelasan, yakni taqyid terhadap yang mutlaq, takhshih terhadap yang ‘am, dll.
Sementara menurut para ulama’ mutaakhirin bahwa naskh sebagai dalil yang datang kemudian, berfungsi untuk mengguggurkan dan menghilangkan hukum pertama. Dengan demikian, mereka mempersempit ruang lingkupnya dengan beberapa syarat, baik yang menaskh maupun yang dinaskh. Hal ini dilakukan untuk membedakannya dengan mukhashish (yang mentakhshish) terhadap yang ‘am dan muqayyid terhadap yang mutlaq, dimana hal ini tidak diperhatikan oleh para ulama’ terdahulu, bahkan meraka tidak terikat dengan masalah-masalah terseut. Mengenai hal ini Imam al-Syatibi mengatakan “Yang tampak dari perkataan ulama’ terdahulu (al-mutaqaddimin), bahwa penggunaan naskh menurut mereka lebih luas artinya dari pada arti naskh menurut ushuliyin. Mereka menggunakan arti naskh itu untuk makna taqyid terhadap yang mutlaq. Mereka pun menggunakan kata naskh itu untuk menghapus hukum syar’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sebab semuanya itu adalah lafadz musytarak dalam satu makna, yaitu bahwa naskh menurut istilah ulama’ mutaakhirin berarti perkara (perintah) yang terdahulu itu tidak dimaksud untuk dikenakan taklif (beban), tetapi yang dimaksud untuk jadi beban adalah yang datang kemudian. Jadi yang pertama (al-mansukh) tidak perlu untuk diamalkan, melainkan kedualah (al-nasikh) yang harus diamalkan.
Atas dasar inilah, kemudian para ulama’ muta’akhirin mendefinisikan naskh sebagai berikut: “Menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Dalil ini biasa disebut al-naskh (yang menghapus). Sedangakan hukum yang pertama al-mansukh (yang terhapus). Sementara itu penghapusan hukum tersebut dinamakan al-naskh”. Definisi tersebut menurut Dr. Subhi al-Shalih dipandang sebagai defisi terminology yang tepat karena sesuai dengan makna naskh dalam bahasa arab yaitu meniadakan (al-izalah) dan menghapus (al-raf’u).
Sementara itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid makna naskh sebagai penghapusan adalah mengganti satu teks (a;-nash) dengan teks yang lain dengan tetap mempertahankan kedua teks dimaksud. Kesimpulan Abu Zaid didassarkan pada dua teks Al-qur’an yaitu Makiyyah dan Madaniyyah. Jadi dapat diambil kesimpulan naskh yaitu penghapusan atau pembatalan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau implicit.
2.      Pengertian Mansukh
Mansukh secara etimologi artinya dihapus. Sedangkan menurut terminology mansukh yaitu dihapuskannya atau dibatalkannya suatu hukum dengan hukum yang baru, karena adanya dalil atau alasna yang menurut Allah leih atau minimal sepadan. Contohnya, dihapuskannya sholat menghadap ke Baitul Maqdis (masjidil Aqsha) karean, ada perintah untuk menghadap ke ka’bah di Masjidil Haram.   
                                                                                          
B.     Ruang Lingkup dan Syarat-syarat Nasikh
Mengenai ruang lingkup nasikh, Manna’ al Qattan menyimpulkan bahwa nasikh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar (perintah) atua nahyil (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat Allah, siafat-sifat Allah, kitab-kitab allah, para rasulNya, dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan  etika dan akhlaq atau dengan pokok-pokok ibadah muamalah. Hal itu karena semua syari’at illahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (usul) semua syari’at adalah sama. Firman Allah dalam surat As Syura ayat 13 “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. Naskh tidak terjadi dalam berita, khaar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab ( tuntunan, perintah, atau larangan) seperti janji (al wa’d) dan ancaman (al wa’id) .
Adapun syarat-syarat naskh yaitu:
1.      Yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2.      Dalil yang digunakan untuk mengangkat atau menghapus hukum itu ialah dalil syara’ yang datang kemudian dari teks hukum yang di mansukhkan.
3.      Khitab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Yang demikian tidak dinamakan naskh.
Syarat-syarat nash-nash yang dapat dinasikhkan menurut Muhammad Abu Zahrat yaitu:
1.      Hukum yang dinasikh kan tidak menunjukkan berlaku abadi.
2.      Hukum yang dinasikhkan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baiknya atau buruknya.
3.      Haruslah ayat nasikhat datang kemudian dari mansukhat.
4.      Keadaan kedua nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama lain.
5.      Nash sebagai nasikh harus lebih kuat atau paling tidak, sama kuatnya.

C.    Pembagian Nasikh
Umumnya para ulama’ membagi nasikh menjadi empat bagian yaitu:
1.      Al-qur’an dinasikhkan dengan Al-qur’an. Contohnya, iddah isteri yang ditinggal mati suaminya.
2.      Al-qur’an dinasikhkan dengan hadits mutawatir. Misalnya haramnya tiap bangkai dinasikhkan dengan hadits هو الطهور ماؤه الحل ميتته .
3.      Nasikh hadits dengan Al-qur’an. Misalnya larangan campur isteri pada bulan Ramadhan, kemudian dihalalkan oleh Al-qur’an surat Al aqarah ayat 187. Demikian pula kewajiban puasa Asyura yang telah dilakukan oleh nabi SAW, kemudian dinasikhkan oleh kewajiban puasa pada bulan Ramadhan.
4.      Nasikh hadits dengan hadits. Misalnya larangan tentang ziarah kubur kemudian dibolehkan nabi dengan sabdanya “كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا فزروها“.
                                                                    
Dilihat dari sudut teks atau nashnya naskh terbagi kepada:
1.      Naskh bacaan dan hukumnya sekaligus, seperti hadits yang diriwayatkan Aisyah tentang keharaman akibat susuan seperti dikatakannya “عشر رضعات معلومات”.
2.      Naskh bacaan dan hukumnya tetap, contohnya “الشيخ والشيخة اذا زنيا فارجموها”.
3.      Dinasikhkan hukumnya dan tetap bacaannya. Contohnya kewajiban isteri tetap di rumah suami dengan memperoleh nafkah selama 1 tahun penuh, dinaskhkan oleh ayat yang menentukan iddah mati 4 bulan 10 hari.
Faedah ditetapkannya bacaan dan dinaskhkan hukumnya ada dua yaitu: pertama, mengingat Al-qur’an kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua, untuk meringankan beban hukum bagi para mukallaf.
Abd Wahab Al-khallaj menjelaskan bahwa tidak semua nash dalam Al-qur’an atau hadits pada mas Rasulullah dapat dinaskhkan. Diantara ciri-ciri yang tidak dapat di naskhkan ialah:
1.      Nash-nash yang berisi hukum-hukum pokok yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kewajiban percaya kepada Allah, Rasul, kitabNya, hari kiamat dan yang menyangkut dengan pokok-pokok akidah dan ibadah lainnya.
2.      Nash-nash yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang kuat atau ditentukan berlaku selamanya. Misalnya tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) untuk selamanya. Dalam hadits misalnya: “الجهاد ماض الى يوم القيامة”.
3.      Nash-nash yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Misalnya berita bangsa Tsamud, Ad. Menaskhkan yang demikian berarti mendustakan berita tersebut.
                                                     
D.    Macam-macam Nasikh
Pembagian naskh ternyata berbeda-beda. ‘Abd al-Wahhab Khallaf sebagaimana Muhammad Abu Zahrat membagi naskh menjadi 4 macam yaitu:
1.      Naskh Sharih ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat sembahyang, dari menghadap bait al-Maqdis diubah menjadi menghadap ke ka’bah.
2.      Naskh Dhimni yaitu naskh secara implicit (tersirat) yang tidak jelas. Naskh ini diketahui karena ada dua nash yang saling bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, kemudian diketahui bahwa kedua nash itu datangnya tidak sekaligus pada waktu yang sama. Maka ayat (nash) kedua berfungsi sebagai nasikhat dan yang pertama menjadi mansukhat.
3.      Naskh Kulli yaitu pembatalan hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada orang tua dan kerabat oleh ayat waris dan juga hadis لا وصية لوراث.
4.      Naskh Juz’i ialah pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum sebelumnya oleh yang datang kemudian. Misalnya ayat tentang hukuman jilid (cambuk) 80 kali bagi orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4 orang saksi, oleh ayat li’an agi suami isteri . Kalau diperhatikan maka bentuk-bentuk diatas bukanlah  naskh dalam arti sebenarnya. Tetapi hanya takhshish dari ‘am dan taqyid dari mutlaq.

E.      Konsep Nasakh: Kontroversi Interpretasi atas Teks
Sebagaimana penjalasan sebelumnya, bahwa antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin terjadi perbedaan diametral dalam memahami konsep naskh dalam al quran. Perbedaan pendapat tersebut bermuara pada pemahaman mereka terhadap beberapa teks al quran yang secara ekplisit menjelaskan tentang adanya naskh dalam al quan. Di antaranya teks al quran yang mendukung teori tersebut adalah:
“ ayat dan teks lain saja yang Kami naskhkan, aau kami jadikan (manusia) lupa keduanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Para sarjana klasik (mutaqaddimin) menafsirkan teks di atas dan teks lain yang senada sebagai adanya sejumlah teks al quran yang dihapuskan. Mereka menggunakan terma naskh ini mencakup semua bentuk penjelasan, sehingga naskh memiliki makna yang lebih umum ketimbang hanya sekedar penghapusan syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. penggunaan terma naskh dalam pengertian yang umu oleh generasi awal sangat mendorong meningkatnya jumlah teks-teks al quran yang dibatlakn hingga mencapai ratusan. Mereka tanpa ragu lagi membolehkan menetapkan sendiri mana teks-teks yang nasikh dan mana teks-teks yang mansukh. Mereka berusaha membuktikan sebanyak-banyaknya teks-teks yang mansukh dalam al quran.
Teks-teks al quran yang oleh ulama generasi awal telah dimansukh dengan jumlahnya yang mencapai proporsi yang mengerikan tersebut oleh ulama mutaakhirin ditekan sedemikian rupa sehingga jumlahnya bisa diminimalisir. Al-Syuyuti  misalnya mengurangi teks-teks yang dibatalkan dari beratus-ratus menjadi hanya dua puluh teks saja. Bahkan Abu Muslim al-Asfihani penganut madzhab mu’tazilah menolak sepenuhnya konsep naskh ini. Menurutnya, naskh tidak mungkin terjadi menurut syara’, meskipun secara logika dapat diterima. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa teori naskh dengan makna ‘penghapusan’ bertentangan dengan firman Allah dalam QS> Fushshilat/41:42, sebagai berikut:
“ yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS. Fushshilat/41: 42)
Berdasarkan ayat ini, Abu Muslim al-Asfihani lebih suka menyebut term nasakh  dengan term lain, yaitu takhshish (pengkhususan arti). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ahmad Hasan, di mana ia tidak mengakui adanya naskh dalam al-Qur’an, sebab jika memang dalam al-Qur’an terdapat teks-teks yang mansukh tentu Rasulullah saw akan menjelaskannya.
Selain beberapa argumentasi sebagaimana disebutkan diatas, mereka yang menolak adanya naskh dalam al-Qur’an dengan pengertian ini. Juga beralasan bahwa pembatalan hukum oleh Allah swt mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu: 1. Ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain. Dan 2. Kesia-siaan dan permainan belaka.
Pendapat Abu Muslim al-Asfihani dan mereka yang sefaham dengannya mendapatkan reaksi yang keras dari para ulama lainnya, yang mengakui adanya konsep naskh dalam al-Qur’an. Menurut ulama yang mengakui adanya konsep naskh berpendapat bahwa ada perbedaan yang prinsipil antara term takhshish dengan naskh. Untuk term yang disebutkan terakhir dapat didefinisikan sebagai menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan untuk term yang disebutkan pertama dapat didefinisikan sebagai membatasi keumuman suatu lafadz hanya pada bagian-bagianya.
Pencampura-adukan pemaknaan antara term takhshish dengan naskh sebagaimana dilakukan oleh Abu Muslim dan kawan-kawannya yang sefaham, menurut penilaiaan Subhi al-Shalih sebagai suatu tindakan yang idak sopan terhadap allah. Sebab, ia lebih memilih term takhshish yang dibuatnya sendiri ketimbang term naskh yang jelas-jelas dinyatakan oleh al-Qur’an. Demikian juga sebaliknya, bagi mereka yang mengakui adanya konsep naskh dalam al-Qur’an juga terlalu berlebih-lebihan dalam menetapkan teks-teks yang mansukh, sehingga jumlahnya pun mencapai proporsi yang sangat mengerikan itu. dengan pemahaman yang demikian dapat berimplikasi pada terbukanya kesempatan yang seluas-luasnya bagi orang untuk mencampuradukkan pengertian naskh dengan al-bada’.
Term al-bada’ dalam bahasa arab memiliki dua makna, pertama, al-zhuhuru ba’da al-khafa’, yaitu menampakkan setelah sebelumnya tersembunyi. Kedua, nasy’ah ra’yin jadidin lam yakun maujudan, yaitu munculnya pemikiran baru yang sebelumnya tidak ada.
Dari kedua pengertian di atas, menjadi jelaslah bahwa al-bada’ sangat mustahil terjadi pada diri Tuhan. Oleh karenanya, Tuhan harus bersih dari sifat al-bada’ ini.
                                                                                                                
F.     Metode (Manhaj) Mengetahui Al-qur’an
Berkaitan dengan pentingnya ilmu pengetahuan mengetahui masalah ini, Manna Al-qattan telah menetapkan tiga metode yang dapat dipakai untuk mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan nasikh dan ayat lain sebagai mansukh, ketiga metode tersebut adalah: Pertama,  berdasarkan informasi yang jelas (al-naql al-sharih) yang didapat dari nabi dan sahabat, seperti hadits: “Kuntu nahaitukum ‘an ziarah al-qubr, ala fazuruha” (aku dulu melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah). Demikian juga ungkapan Anas tentang kisah sumur maunah, berkenaan dengan mereka turunlah ayat Al-qur’an yang pernah kami baca sampai dihapus. 
Kedua, berdasarkan konsensus (ijma’) umat bahwa ini nasikh dan ayat itu mansukh.
Ketiga, berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat-ayat yangturun terlebih dahulu (al mutaqoddam) dan mana yang terkemudian (al mutaakhir).
Lebih lanjut Qattan menegaskan bahwa nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, atau berdasarkan pendapat para mufasir, ataupun berdasarkan dalil-dalil yang secara dhohir Nampak kontradiktif. Demikian juga, nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan terbelakangnya keIslaman seseorang dari dua perawi.

G.    Pola-pola Nasikh dalam Alquran
Ada sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa ada beberapa wahyu yang tidak terekam secara tertulis di dalam mushaf resmi Utsmani. Pengetahuan ini akan banyak ditemukan dalam beberapa bahasan yang secara khusus berbicara tentang Nasikh dan  Mansukh dalam Alquran.
Atas dasar itulah para ulama ketika membahas masalah Nasikh dan Mansukh membagi Naskh ke dalam tiga kategori utama, yaitu pertama, wahyu yang terhapus, baik hukum maupun teksnya di dalam mushaf (naskh al hukm wa al tialwah jami’an); kedua, wahyu yang terhapus teks atau bacaannya saja, sedanagkan hukumnya masih tetap berlaku (naskh al tilawah duna al hukm); ketiga, wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat dalam mushaf  (naskh al hukm duna al tilawah).
Tipe yang disebutkan pertama adalah unit-unit teksnya masih sempat direkam dalam sejumlah prophetologia, tetapi baik teks maupun hukumnya dinyatakan terhapus. Dalam beberapa riwayat, tipe yang pertama ini diakui eksistensinya sebagai bagian dari Alquran pada masa tertentu. Contoh yang sering disebut di antaranya adalah riwayat yang datang dari Aisyah tentang terjadinya muhrim karena sepuluh kali susuan, kemudian dinaskh dengan lima kali susuan. Berikut artinya: “Aisyah berkata: Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui (ma’lum) itu menyebabkan muhrim kemudian (ketentuan) itu dinaskh oleh lima susuan yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat, lima susuan ini tetap dibaca sebagai bagian dari teks AlQuran”.
Hadits di atas adalah hadits shahih, meskipun berstatus mauquf, yaitu disandarkan kepada Aisyah. Meskipun demikian, hadits tersebut dihukumi marfu’, yaitu setingkat dengan hadits yang datang dari Nabi saw.
Kategori kedua dari naskh mansukh adalah beberapa unit wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku. Contoh seperti ayat Rajm, yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam bagi orang yang berzina.
Adapun ayat rajm tersebut adalah:          
الشيخ والشيخة اذازنيا فارجموهما البتة نكالا من الله والله عليم حكيم 
“Apabila seseorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan, dan Tuhan Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
            Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa teks ayat di atas termasuk bagian dari teks AlQuran yang dinaskh. Menurut riwayat tersebut bahwa posisi semula ayat ini berada di dalam QS. Al Ahzab:33, sementara itu dalam riwayat Bukhori menyebutkan bahwa posisi semula ayat tersebut berada di dalam QS. An Nur: 24.
Namun, terdapat perbedaan di antara keduanya, di mana dalam QS. An Nur terdapat batasan terhadap hukuman perbuatan zina dengan cambukan sementara dalam ayat di atas tidak demikian. Di sisi lain, secara fraseologis, term asy syaikh, asy syaikhah dan al battah tidak pernah digunakan dalam Al Quran. Dengan demikian keberadaan ayat di atas sebagai bagian dari teks Al Quran sangat meragukan.
            Kategori terakhir dari naskh mansukh adalah wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat dalam mushaf. Bentuk naskh yang terakhir ini merupakan materi yang banyak dibahas. Secara kuantitas,  jumlah teks yang dinaskh untuk kategori yang terakhir ini sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada abad ke-8 hingga abad ke-11 telah mencapai suatu proporsi yang mengerikan dan sangat dramatis dalam sejarah pemikiran Islam. Hal ini disebabkan karena percampuradukan pemaknaan antara konsep naskh dengan term-term lain yang hampir mempunyai kesamaan fungsi, seperti takhlish terhadap yang ‘am, taqyid terhadap yang muthlaq, dan yang sejenisnya. Dalam beberapa literatur ditulis bahwa jumlah ayat yang dinaskh mencapai ratusan ayat. Ibn Syihab al Zuhri menyebut 42 ayat yang mansukh, An Nahhas mengidentifikasi 138 ayat, Ibn Salamah mengemukakan 238 ayat. Tetapi pada masa selanjutnya, kuantuitas ayat-ayat yang dinaskh sedikit demi sedikit mulai direduksi. Pada masa As Suyuthi, jumlahnya diminimalisir menjadi 20 ayat saja. Sedangkan pada masa Syah Wali Allah jumlah yang dinaskh tinggal 5 ayat saja.
            Imam As suyuthi dengan mengutip perkataan Al Qadli Abu Bakar ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa sedikitnya ada dua hikmah terhadap ayat yang dinaskh hukumnya tetapi teks atau bacaannya tetap terekam di dalam mushaf. Pertama, bahwa Al Quran disamping dibaca untuk diketahui hukumnya dan diamalkan, juga dibaca karena ia kalam Allah yang dengan membacanya akan mendapatkan pahala; maka dibiarkannya bacaan tersebut karena hikmah ini. Kedua, bahwa naskh pada ghalibnya adalah untuk meringankan, maka dibiarkannya tilawah tersebut untuk mengingatkan nikamt yang diberikan ini.

H.    Otoritas Teks yang Boleh menasakh
            Para sarjana klasik maupun belakangan yang mengakui adanya konsep naskh dalam Al Quran telah sepakat tentang kebolehan teks Al Quran menaskh teks Al Quran yang lainnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang kebolehan teks as sunnah menaskh teks Al Quran. Kontradiksi semacam ini muncul lebih disebabkan karena tidak adanya penbedaan antara teks-teks keagamaan, dan juga tidak dipahaminya batas-batas yang memisahkan antara teks-teks tersebut.
Sebelum beranjak lebih jauh tentang kontradiksi kebolehan teks as sunnah menskh teks AlQuran, perlu dikemukakan beberapa pola naskh yang biasa terjadi dalam sistem hukum Islam. Menurut Az Zarqani naskh dapat dibedakan ke dalam empat bagian, di antaranya: 1) naskh al Quran dengan Al quran; 2) naskh Al Quran dengan As sunnah; 3) naskh as sunnah dengan Al Quran; dan 4) naskh as sunnah dengan as sunnah.
Kategori yang disebutkan pertama- naskh Al Quran dengan Al quran telah diakui kebolehannya. Hal ini didasarkan dalam firman Allah QS. Al Baqarah ayat 106.
            Sedangkan kategori yang disebutkan kedua, para ulama berbeda pendapat yang kontradiktif  yaitu ulama yang membolehkan terjadinya naskh Al Quran dengan as sunnah dan kedua ulama yang menolak adanya naskh Al Quran dengan as sunnah.
Kategori ketiga adalah naskh as sunnah dengan al Quran. Jenis yang ketiga ini juga diperselisihkan, sebagian ulama ada yang membolehkan dan sebagian lainnya menolak. Bagi ulama yang membolehkan kategori ketiga ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebab antara as sunnah dengan Al Quran adalah sama-sama wahyu yang datang dari Allah. Sedangkan bagi mereka yang menolak berargumen dengan firman Allah dalam QS. An Nahl: 44.
Sedangakan untuk kategori yang terakhir, dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu: 1)naskh sunnah mutawattir dengan mutawattir; 2)naskh sunnah ahad denagn ahad; 3)naskh sunnah ahad dengan mutawatir; dan 4) naskh sunnah mutawatir dengan ahad. Tiga jenis yang disebutkan pertama diperbolehkan, baik menurut akal maupun syara’, sedangkan untuk jenis yang disebutkan terakhir, ulama sepakat bahwa naskh sunnah mutawatir dengan ahad boleh menurut akal, sedangkan menurut syara’ masih diperselisihkan. Mereka berargumen bahwa hadits mutawatir bersifat Qath’i al tsubut, sedangkan khabar ahad bersifat dzanniy al tsubut. Yang qath’i tidak dapat dihapus dengan yang dzanniy, sebab hadits mutawatir mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan hadits ahad. Oleh karenanya, yang kuat tidak dapat dihapuskan oleh yang lebih lemah kedudukannya.

I.       Pendapat Ulama’ tentang Nasikh
1.      Menerima adanya naskh
Abd al-wahab al-kallaf berpendapat bahwa memang terdapat naskh sebelum Rasulullah wafat. Namun setelah wafat tidak ada naskh itu. Al syuyuti lebih jauh merinci ayat-ayat nashk dan macam-macam naskh. Muhammad bin Abd Allah al Zarkasyi cenderung menolak naskh. Jumhur ulama menyetujui adanya naskh termasuk imam syafii dan imam-imam lainnya. Alasan adanya naskh sebagaimana yang telah disebut di atas.
Asal mula timbulnya teori naskh ialah adanya ayat-ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Menurut al Nahhas (W. 388 H) ayat-ayat yang mansukhat sebanyak 100 ayat lebih. Menurut al Suyuthi (W 911 H) telah menyesuaikan ayat-ayat yang nampaknya bertentangan, tinggal 20 ayat yang tak dapat disesuaikan. Al Syawkani (W. 1250 H) berpendapat bahwa ayat-ayat yang tidak dapat dikompromikan yang semula 20 ayat akhirnya tinggal 8 ayat. Syah waliyullah (1703-1762 H) bahkan memakai arti naskh dalam arti yang lebih umum, sehingga menurut pendapatnya ayat-ayat yang telah dinasakhkan mencapai 500 ayat.
2.      Menolak Adanya Nasakh
Diantara mereka yang menolak adanya naskh di dalam al qur’an ialah Abu Musllim Al Isfahani (W. 322 H). ia kemudian di ikuti oleh ulama mutaakhirin.
Diantara alasan mereka ialah:

a.       Sekiranya dalam al qur’an ada naskh, maka berarti dalam al qur’an ada yang salah satu atau batal. Sedangkan dalam Al qur’an sendiri tidak ada kebatalan.
b.      Dalil yang dijadikan alasan adanya naskh perlu mendapat peninjauan lebih lanjut.
c.       Pada ayat berikutnya yang dijadikan alasan adanya  naskh juga dapat ditakwil sesuai dengan konteks ayat-ayat sesudah dan sebelumnya.
d.      Tentang ayat-ayat yang dikatakan telah dihapuskan bacaannya misalnya tentang rajm, sama diragukan kebenarannya. Ini nampak kata Umar sendiri.
e.       Tidak adanya kesepakatan para ulama berapa jumlah yat yang telah dinaskh.
f.       Tidak ada penegasn nabi tentang ada atau tidaknya naskh.
g.      Adanya ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum dapat menjadi jaminan tentang adanya naskh.
h.      Disamping alasan-alasan tersebut juga tidak jelas hikmah adnya naskh.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Naskh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.  Naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermakna amar (perintah) atau nahi (larangan), tidak ada naskh ayat tentang persoalan akidah, dzat Allah, sifat-sifat Allah, kita Allah, para RasulNya, dan hari kemudian. Para ulama’ bereda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al-qur’an. Sedangkan hadits yang dinaskh oleh ayat Al-qur’an jumhur ulma’ mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al-qur’an yang dinaskh oleh hadits para ulama’ sepakat hal itu tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Baidan, Nashruddin. 2011. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pealajar
Drs. Al-hafidz, Ahsin W. 2006. Kamus Ilmu Al-qur’an. Jakarta: Amzah
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-qur’an Komprehensif. Wonosobo: Gama Media
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-ilmu Al-qur’an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Dr. As-shalih, Subhi. 2011. Membahas Ilmu-ilmu Al-qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus
Drs. H. Masyhur, Kahar. 1992. Pokok-pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Ichwan, Mohammad Nor. 2008. Studi Ilmu-ilmu Alqur’an. Semarang: Rasail
Ichwan, Mohammad Nor. 2002. Memahami Bahasa Alqur’an. Semarang: Pustaka Pelajar 
Al Qattan, Manna’ Khalil. 2009. Pengantar Studi Al-qur’an. Yogyakarta: Teras  
                                                                       













Tidak ada komentar:

Posting Komentar