PERAN IMAN DALAM MENGENDALIKAN HAWA NAFSU
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Masyarakat dewasa ini berada dalam
zaman dengan ciri yang paling jelas adalah membiarkan dirinya sendiri mengumbar
hawa nafsu dan hanyut didalamnya, tanpa memperdulikan lagi kaidah-kaidah yang
disyari’atkan oleh Al-qur’an dan As-sunnah. Kebanyakan manusia menghiasi
hatinya dengan hawa nafsu, dimana segala ucapan, perbuatan dan putusan-putusan
mereka semua berhias hawa nafsu, segenap panca indera berselimut hawa nafsu,
sehingga mereka tidak bisa melihat selain apa yang sesuai dengan nafsunya.
Artinya mereka tidak bisa melihat fakta dan kebenaran selain apa yang sesuai
dengan pola pikir sendiri yang sudah tidak lagi murni.
Kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari
perilaku akhlaqnya. Karena iman yang kuat mewujudkan akhlaq yang baik dan
mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlaq yang jahat dan buruk laku, mudah terkilir pada
perbuatan yang keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Sebagai seorang muslim yang beriman kita harus bisa menjaga hawa
nafsu untuk mewujudkan akhlaq yang baik dan mulia. Nabi SAW bersabda, “Kita
kembali dari jihad kecil menuju jihad paling besar”. Para sahabat bertanya,
“Wahai Rasulallah, apa jihad yang paling besar itu?” Beliau menjawab, “Berjuang
melawan hawa nafsu”. Ketahuilah bahwa
perlaku nafsu itu tercela, tidak lurus. Sebab kendali ukurannya kecil,
didalamnya terkandung segala apa yang ada dilangit dan dibumi. Maka dari itu
untuk mengendalikan hawa nafsu sangat penting untuk setiap muslim yang beriman.
Sebagaimana makalah yang akan kita bahas kali ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
Iman dan hawa nafsu
2.
Macam-macam
hawa nafsu
3.
Hubungan
iman dan hawa nafsu
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
I.
Pengertian
Iman
Iman menurut bahasa berasal dari kata amana yu’minu imanan berarti
keyakinan atau kepercayaan, sedangkan menurut istilah berarti keyakinan atau
kepercayaan kepada Allah SWT, para malaikatnya, kitab-kitabnya, para utusannya,
hari kiamat, dan qada serta qodar (ketentuan) baik serta buruk semua datang
dari Allah.
Islam sebagai agama terbagi menjadi bagian-bagian yang
masing-masing berkaitan erat, yakni: Iman, Islam (dimana aspek kedua dipandang
sebagai bagian-bagian yang berupa ritual dan hukum-hukum), dan Ihsan. Keyakinan
kepada Allah SWT merupakan sesuatu yang tersusun dalam hati atau pikiran. Oleh
karena itu untuk mengetahui adanya Allah SWT seseorang harus yakin terlebih
dahulu. Keyakinan ini akan mengantar menuju pengetahuan tentang Tuhan. Dalam hal
ini Rasul SAW pernah bersabda: “Iman adalah pengakuan dengan lisan, pembenaran
dengan hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan.”
Allah SWT berfirman: “Pada hari ketika kamu melihat orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan
di sebelah kanan mereka (dikatakan kepada mereka): pada hari ini ada berita
gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai yang
kalian kekal didalamnya. Itulah keberuntungan yang agung.” (Al-Hadid [57] : 12).
Ciri-ciri orang beriman:
1.
Gembira
karena berbuat kebajikan dan berduka kaarena berbuat keburukan.
2.
Apabila
disebut asma Allah gemetar hatinya.
3.
Apabila
dibacakan ayat-ayat Allah bertambah imannya.
4.
Bertawakal
pada Allah
5.
Mendirikan
sholat.
6.
Menafkahkan
rizkinya dijalan Allah.
II. Pengertian hawa nafsu
Hawa nafsu terdiri dari dua kata yaitu hawa dan nafsu hawa
mempunyai arti sangat cinta, kehendak. Sedangkan nafsu mempunyai arti ruh,
nyawa, jiwa, tubuh, diri seseorang, kehendak, niat, selera, usaha. Dalam bahasa
melayu nafsu bermakna keinginan, kecenderungan, atau dorongan hati yang kuat.
Jika ditambah dengan kata hawa, biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang
kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik dan adakalanya bermakna selera,
jika di hubungkan dengan makanan.
Sering kali istilah nafs digunakan dalam pengertian yang negative,
lantaran dorongan yang terkandung di dalamnya, dan lantaran di dalamnya
terdapat perpaduan antara hasrat dan kebodohan. Nafs ini dinyatakan sebagai an-Nafs
al-Ammarah bi al-Su’ (jiwa yang mengajak kepada kejahatan). Dengan melampaui
tahap an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang tercela atau yang suka mencela diri
sendiri karena berbagai dosa yang dilakukan, QS al-Qiyamah: 2), yang dalam
beberapa bentuknya mirip dengan pemikiran-pemikiran maka nafs tersebut dapat
dibersihkan dan di kembalikan kepada sumber realitasnya sebagai an-Nafs
al-Muthmainnah (jiwa yang damai) yang terjamin masuk surga. Sebagaimana firman
Allah SWT , “ wahai jiwa yang tenteram. Kembalilah kamu kepada tuhanmu dengan
rida dan diridai maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (yang berbakti)
dan masuklah ke dalam surge-Ku.” (QS al-Fajr [89]: 27-30)
B.
MACAM-MACAM NAFSU
Hawa nafsu ibarat api yang membara, didalamnya terdapat
pergunjingan, syahwat, marah, penyimpangan, tipuan, pengintaian setan dengan
pasukan nafsu, dan was-was yang keji. Sebagian sufi mengatakan ada tujuh
tingkatan nafsu yaitu:
1.
Nafsu
Ammarah
yakni nafsu
yang suka mengajak dan mendorong kepada kejahatan. Nafsu ini dimiliki oleh
setiap orang, baik orang mukmin yang awam maupun orang kafir. Nafsu ini
menguasai seluruh jiwa dan raganya karena mendapat dorongan kuat dari setan,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT., “karena sesunguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
tuhan-Ku” (QS Yusuf [12] : 53).
2.
Nafsu
Lawwamah
Yakni nafsu
yang suka mencela atau menyesali diri sendiri. Nafsu ini masih dimiliki oleh
setiap mukmin pada tingkatan awam (kebanyakan), sebagaimana yang
dinyatakan oleh Allah SWT., “Dan Aku bersumpah demi jiwa (nafsu) yang banyak
menyesali dirinya sendiri”. (QS: Qiyamah [75] : 3).
3.
Nafsu
Mulhamah
Yakni nafsu
yang telah mendapat bimbingan ilham dari Allah SWT. Nafsu ini dimiliki oleh
orang mukmin pada tingkatan awam hakikat atau telah sampai di depan pintu khawash
(orang khusus), sebagaimana firman Allah SWT., “Dan jiwa yang
menyempurnakannya. Kemudian diilhamkan (diberi tahu) padanya, jalan kejahatan
dan jalan ketaqwaan” (QS Asy-Syams [91]: 7-8 )
4.
Nafsu
Muthmainnah
Yakni nafsu
yang tenang, tenteram, damai. Nafsu ini dimiliki mukmin pada tingkatan khawash
(orang-orang khusus) atau orang-orang yang telah dekat dengan Allah SWT.
Mengenai nafsu Muthmainnah, nafsu Radhiyah, dan nafsu
Mardhiyah ini dinyatakan Allah SWT. Dalam Al-qur’an, “Wahai jiwa yang
tentram. Kembalilah pada Tuhanmu dengan ridho dan dirodhoi”. (QS: Al-fajr
[89]: 27-28).
5.
Nafsu
Radhiyah
Yakni nafsu
yang ridho atau senang berada didekat Allah SWT,. mencintai, atau mersa puas
bersamaNya. Nafsu ini hanya dimiliki oleh khawashul khawas (orang
khususnya khusus). Mereka ini sudah sampai derajat waliyullah (kekasih
Allah SWT.), karena mereka mencintai Allah SWT.
6.
Nafsu
Mardhiyyah
Yakni nafsu
yang diridhai, yaitu dia yang merasa tenang atau cinta kepada Allah SWT. dan
Allah SWT. pun senang dan puas kepadanya. Nafsu ini lebih tinggi dari nafsu
Radhiyyah, meskipun ia telah mersa senang dan cinta kepada Allah SWT,.
namun belum pasti Allah SWT., menyambutnya dengan rasa senang dan cinta
kepadnya, sedangkan orang yang memiliki nafsu mardhiyyah, secara timbale
balik, mereka senang dan cinta kepada Allah SWT, dan Allah SWT. pun menyambut
dengan senang dan cinta kepada mereka. Nafsu ini hanya dimiliki oleh khawashul
khawas. Mereka ini sudah ke derajat waliyullah (kekasih Allah) yaitu
para wali dan para nabi, karena mereka mencintai Allah SWT. dan Allah SWT. pun
mencintainya.
7.
Nafsu
Kamilah
Yakni nafsu
yang sempurna. Nafsu ini hanya dimiliki oleh para rasul dan khususnya
Rasulallah SAW.
Sedangkan
nafsu itu sediri menurut imam Al-Ghozali dibagi ada empat bagian yaitu:
a.
Keserakahan
nafsu terhadap harta benda
b.
Nafsu
amarah akan membakar dan membutakan hati
c.
Kesenangan
duniawi mendorong nafsu
d.
Nafsu
syahwat
Kemudian ada juga sifat-sifat nafsu
menurut imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ikhya’ Ulumuddin menyebutkan ada 3 sifat
nafsu yaitu: Nafs al-muthmainnah (nafsu yang tenang), nafs al-lawwamah ( nafsu
yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), dan nafs al-ammaarah al-suu (nafsu
yang mengajak kepada keburukan).
C.
HUBUNGAN IMAN DAN HAWA NAFSU
Semua pengertian-pengertian
yang dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan bahwa iman itu berperan dan
berpengaruh penting terhadap tindak laku manusia dalam segala aspek kehidupan
manusia. Jika seseorang imannya kuat dia mampu melaksanakan ibadah dengan
ikhlas, takut berbuat dosa, mampu mengendalikan maksiat, menipu, bohong, khianat,
dll.
Iman yang kokoh
berperan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan sekaligus berperan menumbuhkan
kebahagiaan hidup. Peran iman tersebut diantaranya adalah menghilangkan
gangguan jiwa, menumbuhkan keteguhan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali
hawa nafsu, menumbuhkan tawakal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan
menciptakan rasa cinta dan bahagia. Enam macam peranan tersebut hanya merupakan
peranan yang asasi secara minim akan tumbuh pada prang-orang yang benar-benar
beriman. Totalitas peranan tersebut secara integral dapat menumbuhkan
ketawqwaan dalam kehidupan manusia, baik sebagi makhluk individual maupun
kolektif.
Ibnu Athailah menekankan pentingnya kita mengenali nafsu kita
sendiri. Karena ia merupakan sumber kebaikan dan kemaksiatan. Dengan mengenali
nafsu diharapkan perjalanan hidup kita di dunia ini punya arti dan tidak pernah
menyesal ketika bertemu Allah SWT.
Imam Al-Ghazali dalam minhaj al-abidin-nya menekankan agar
kita berhati-hati terhadap dorongan hawa nafsu yang akan menyeret kita berbuat
kejahatan. Hawa nafsu adalah musuh yang sangat mencelakakan. Menimbulkan petaka
yang amat besar dan sukar dihindari. Oleh karena itu kita harus waspada dengan
nafsu kita. Ada dua hal yang berkaitan dengan hawa nafsu. Pertama hawa
nafsu merupakan musuh dari dalam, musuh diri sendiri, sehingga butuh perjuangan
yang lebih keras dalam menaklukannya. Menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani,
jihad batin atau jihad menaklukan diri sendiri bisa lebih berat dan lebih sulit
ketimbang jihad lahir. Sebab jihad batin merupakan sesuatu yang berlangsung
terus-menerus dan terulang. Kedua karena hawa nafsu adalah musuh yang
disukai, maka manusia yang mencintainya akan menutup mata dengan segala
keaibannya. Ia tidak melihat segala keaibannya.
Di bagian lain Imam Ghazali mengibaratkan nafsu itu “kuda binal”
yang ganas dan liar, sehingga untuk mengatasinya diperlukan cara atau metode
khusus. Al-Ghazali menyebutkan untuk mengalahkan hawa nafsu : pertama
mengekang keinginan. Sebab binatang binal akan lemah bila dikurangi makannya. Kedua
dibebani dengan beribadah. Sebab keledaipun jika ditambah bebannya atau
dikurangi makannya akan tunduk dan menurut. Ketiga berdo’a dan memohon
pertolongan Allah SWT. nabi yusuf mengatakan bahwa. “nafsu itu memerintahkan
berbuat kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh tuhan-ku” (QS yusuf
[12]:53 )
Adapun Langkah-langkah mengendalikan hawa nafsu sebagai berikut:
1.
Banyak
melakukan ibadah, terutama ibadah sunah. Sebab, makanan hati yang bersih adalah
ibadah.
2.
Minta
kepada allah dengan sungguh-sungguh agar keinginana anda semakin kuat untuk
meninggalkan hal-hal yang buruk.
3.
Meyakini
imbalan besar yang allah berikan kepada orang-orang yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya. Sebagaimana firmannya “Katakanlah: “inginkah aku kabarkan kepadamu
itu apa yang lebih baik dari yang demikian itu(memperturuti hawa nafsu)?.”
Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada allah), pada sisi tuhan meraka ada
surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya. Dan
(mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhoan allah. Dan allah
maha melihat akan hamba-hambanya”. (QS: Ali imron :15).
Kuatkan
keyakinan tersebut dengan banyak berdzikir dan beribadah kepadaNya. Jangan
hanya mengandalkan ibadah wajib saja untuk mengendalikan nafsu, ditambah juga
ibadah sunah.
4.
Jaga
panca indra kita dari pengaruh syahwat(nafsu). Jaga mata kita untuk tidak
melihat hal-hal yang berbau maksiat, jga pendengaran dari pembicaraan yang
jorok, jaga mulut dari berkata-kata yang cabul, dan jaga tangan serta kaki kita
untuk tidak menjamah atau melangkah kehal-hal yang maksiat.
5.
Jaga
pikiran kita dengan selalu berfikir positif dan produktif yang akan didapat
dari banyak membaca yang positif dan hindari juga lingkungan yang membangkitkan
hawa nafsu kita.
6.
Menerapkan
sikap ATM yaitu pertama, Alihkan hawa nafsu yang cenderung buruk kepada
kita. Maka setiap ada keinginan,
pikiran, perasaan, tontonan, perkataan, dll (yang berimbas keburukan pada
beberapa jenis hawa nafsu) maka segralah alihkan ke hal yang baik, benar dan
bermanfaat. Kedua, Tutup jalan hawa nafsu tersebut. Artinya hindari
segala hal yang dapat memicu “kebangkitan” hawa nafsu negative. Ketiga Menahan
dan mengendalikan hawa nafsu dengan usaha yang sungguh-sungguh dan minta
pertolongan kepada Allah SWT. dengan catatatan langkah 1 dan 2 harus dilakukan
lebih dahulu.
7.
Mengenali
diri sendiri sebagai upaya pengendalian hawa nafsu. Supaya kita mengetahui
sebab akibat yang ditimbulkan hawa nafsu untuk diri kita sendiri. Sebagaimana
para sufi mengatakan ”Kenalilah dirimu sendiri maka kamu akan mengenali
Tuhanmu”.
BAB
III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Iman menurut bahasa berasal dari kata amana yu’minu imanan berarti
keyakinan atau kepercayaan, sedangkan menurut istilah berarti keyakinan atau
kepercayaan kepada Allah SWT, para malaikatnya, kitab-kitabnya, para utusannya,
hari kiamat, dan qada serta qodar (ketentuan) baik serta buruk semua datang
dari Allah.
Hawa nafsu terdiri dari dua kata yaitu hawa dan nafsu hawa
mempunyai arti sangat cinta, kehendak. Sedangkan nafsu mempunyai arti ruh,
nyawa, jiwa, tubuh, diri seseorang, kehendak, niat, selera, usaha. Dalam bahasa
melayu nafsu bermakna keinginan, kecenderungan, atau dorongan hati yang kuat.
Jika ditambah dengan kata hawa, biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang
kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik dan adakalanya bermakna selera,
jika di hubungkan dengan makanan.
Adapun pembagian hawa nafsu yaitu :
1.
Nafsu
Ammarah
2.
Nafsu
lawwamah
3.
Nafsu
Mulhamah
4.
Nafsu
Muthmainnah
5.
Nafsu
Radhiyyah
6.
Nafsu
Mardhiyyaj
7.
Nafsu
Kamilah
Cara pengendalian hawa nafsu:
1.
Banyak
melakukan ibadah, terutama ibadah sunah. Sebab, makanan hati yang bersih adalah
ibadah.
2.
Minta
kepada allah dengan sungguh-sungguh agar keinginana anda semakin kuat untuk
meninggalkan hal-hal yang buruk.
3.
Meyakini
imbalan besar yang allah berikan kepada orang-orang yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya.
4.
Jaga
panca indra kita dari pengaruh syahwat(nafsu).
5.
Jaga
pikiran kita dengan selalu berfikir positif dan produktif yang akan didapat
dari banyak membaca yang positif dan hindari juga lingkungan yang membangkitkan
hawa nafsu kita.
6.
Menerapkan
sikap ATM yaitu alihkan, tutup, dan menahan hawa nafsu.
7.
Mengenali
diri sendiri sebagai upaya pengendalian hawa nafsu.
II.
DAFTAR PUSTAKA
Musnawar,
Prof. DR. H. Tohari, Jalan Lurus menuju Ma’rifatullah, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2004).
Al-Kumayi,
Sulaiman, Cahaya Hati Penentram Jiwa, (Semarang: Pustaka Nuun, 2005).
Mujib,
M. Abdul, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghozali, (Jakarta: PT. Mizan
Publika, 2009).
Kurniawan,
Irwan, Risalah Al-Ghozali, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).
Rifa’i,
Drs. H. Moh, Akhlaq Seorang Muslim, (Semarang: Wijaksana, 1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar