Senin, 20 Juni 2016

ilmu tauhid



PERAN IMAN DALAM MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Masyarakat dewasa ini berada dalam zaman dengan ciri yang paling jelas adalah membiarkan dirinya sendiri mengumbar hawa nafsu dan hanyut didalamnya, tanpa memperdulikan lagi kaidah-kaidah yang disyari’atkan oleh Al-qur’an dan As-sunnah. Kebanyakan manusia menghiasi hatinya dengan hawa nafsu, dimana segala ucapan, perbuatan dan putusan-putusan mereka semua berhias hawa nafsu, segenap panca indera berselimut hawa nafsu, sehingga mereka tidak bisa melihat selain apa yang sesuai dengan nafsunya. Artinya mereka tidak bisa melihat fakta dan kebenaran selain apa yang sesuai dengan pola pikir sendiri yang sudah tidak lagi murni.
Kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaqnya. Karena iman yang kuat mewujudkan akhlaq yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlaq yang  jahat dan buruk laku, mudah terkilir pada perbuatan yang keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Sebagai seorang muslim yang beriman kita harus bisa menjaga hawa nafsu untuk mewujudkan akhlaq yang baik dan mulia. Nabi SAW bersabda, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad paling besar”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulallah, apa jihad yang paling besar itu?” Beliau menjawab, “Berjuang melawan hawa nafsu”. Ketahuilah  bahwa perlaku nafsu itu tercela, tidak lurus. Sebab kendali ukurannya kecil, didalamnya terkandung segala apa yang ada dilangit dan dibumi. Maka dari itu untuk mengendalikan hawa nafsu sangat penting untuk setiap muslim yang beriman. Sebagaimana makalah yang akan kita bahas kali ini.
                     
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Iman dan hawa nafsu
2.      Macam-macam hawa nafsu
3.      Hubungan iman dan hawa nafsu







BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN
I.       Pengertian Iman
Iman menurut bahasa berasal dari kata amana yu’minu imanan berarti keyakinan atau kepercayaan, sedangkan menurut istilah berarti keyakinan atau kepercayaan kepada Allah SWT, para malaikatnya, kitab-kitabnya, para utusannya, hari kiamat, dan qada serta qodar (ketentuan) baik serta buruk semua datang dari Allah.
Islam sebagai agama terbagi menjadi bagian-bagian yang masing-masing berkaitan erat, yakni: Iman, Islam (dimana aspek kedua dipandang sebagai bagian-bagian yang berupa ritual dan hukum-hukum), dan Ihsan. Keyakinan kepada Allah SWT merupakan sesuatu yang tersusun dalam hati atau pikiran. Oleh karena itu untuk mengetahui adanya Allah SWT seseorang harus yakin terlebih dahulu. Keyakinan ini akan mengantar menuju pengetahuan tentang Tuhan. Dalam hal ini Rasul SAW pernah bersabda: “Iman adalah pengakuan dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan.”
Allah SWT berfirman: “Pada hari ketika kamu melihat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka (dikatakan kepada mereka): pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai yang kalian kekal didalamnya. Itulah keberuntungan yang agung.” (Al-Hadid [57] : 12).
Ciri-ciri orang beriman:
1.      Gembira karena berbuat kebajikan dan berduka kaarena berbuat keburukan.
2.      Apabila disebut asma Allah gemetar hatinya.
3.      Apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah imannya.
4.      Bertawakal pada Allah
5.      Mendirikan sholat.
6.      Menafkahkan rizkinya dijalan Allah.
II.   Pengertian hawa nafsu
Hawa nafsu terdiri dari dua kata yaitu hawa dan nafsu hawa mempunyai arti sangat cinta, kehendak. Sedangkan nafsu mempunyai arti ruh, nyawa, jiwa, tubuh, diri seseorang, kehendak, niat, selera, usaha. Dalam bahasa melayu nafsu bermakna keinginan, kecenderungan, atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan kata hawa, biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik dan adakalanya bermakna selera, jika di hubungkan dengan makanan.
Sering kali istilah nafs digunakan dalam pengertian yang negative, lantaran dorongan yang terkandung di dalamnya, dan lantaran di dalamnya terdapat perpaduan antara hasrat dan kebodohan. Nafs ini dinyatakan sebagai an-Nafs al-Ammarah bi al-Su’ (jiwa yang mengajak kepada kejahatan). Dengan melampaui tahap an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang tercela atau yang suka mencela diri sendiri karena berbagai dosa yang dilakukan, QS al-Qiyamah: 2), yang dalam beberapa bentuknya mirip dengan pemikiran-pemikiran maka nafs tersebut dapat dibersihkan dan di kembalikan kepada sumber realitasnya sebagai an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang damai) yang terjamin masuk surga. Sebagaimana firman Allah SWT , “ wahai jiwa yang tenteram. Kembalilah kamu kepada tuhanmu dengan rida dan diridai maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (yang berbakti) dan masuklah ke dalam surge-Ku.” (QS al-Fajr [89]: 27-30)
B.     MACAM-MACAM NAFSU
Hawa nafsu ibarat api yang membara, didalamnya terdapat pergunjingan, syahwat, marah, penyimpangan, tipuan, pengintaian setan dengan pasukan nafsu, dan was-was yang keji. Sebagian sufi mengatakan ada tujuh tingkatan nafsu yaitu:
1.              Nafsu Ammarah
yakni nafsu yang suka mengajak dan mendorong kepada kejahatan. Nafsu ini dimiliki oleh setiap orang, baik orang mukmin yang awam maupun orang kafir. Nafsu ini menguasai seluruh jiwa dan raganya karena mendapat dorongan kuat dari setan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT., “karena sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh tuhan-Ku” (QS Yusuf [12] : 53).
2.              Nafsu Lawwamah
Yakni nafsu yang suka mencela atau menyesali diri sendiri. Nafsu ini masih dimiliki oleh setiap mukmin pada tingkatan awam (kebanyakan), sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT., “Dan Aku bersumpah demi jiwa (nafsu) yang banyak menyesali dirinya sendiri”. (QS: Qiyamah [75] : 3).
3.              Nafsu Mulhamah
Yakni nafsu yang telah mendapat bimbingan ilham dari Allah SWT. Nafsu ini dimiliki oleh orang mukmin pada tingkatan awam hakikat atau telah sampai di depan pintu khawash (orang khusus), sebagaimana firman Allah SWT., “Dan jiwa yang menyempurnakannya. Kemudian diilhamkan (diberi tahu) padanya, jalan kejahatan dan jalan ketaqwaan” (QS Asy-Syams [91]: 7-8 )
4.              Nafsu Muthmainnah
Yakni nafsu yang tenang, tenteram, damai. Nafsu ini dimiliki mukmin pada tingkatan khawash (orang-orang khusus) atau orang-orang yang telah dekat dengan Allah SWT. Mengenai nafsu Muthmainnah, nafsu Radhiyah, dan nafsu Mardhiyah ini dinyatakan Allah SWT. Dalam Al-qur’an, “Wahai jiwa yang tentram. Kembalilah pada Tuhanmu dengan ridho dan dirodhoi”. (QS: Al-fajr [89]: 27-28).
5.              Nafsu Radhiyah
Yakni nafsu yang ridho atau senang berada didekat Allah SWT,. mencintai, atau mersa puas bersamaNya. Nafsu ini hanya dimiliki oleh khawashul khawas (orang khususnya khusus). Mereka ini sudah sampai derajat waliyullah (kekasih Allah SWT.), karena mereka mencintai Allah SWT.
6.              Nafsu Mardhiyyah
Yakni nafsu yang diridhai, yaitu dia yang merasa tenang atau cinta kepada Allah SWT. dan Allah SWT. pun senang dan puas kepadanya. Nafsu ini lebih tinggi dari nafsu Radhiyyah, meskipun ia telah mersa senang dan cinta kepada Allah SWT,. namun belum pasti Allah SWT., menyambutnya dengan rasa senang dan cinta kepadnya, sedangkan orang yang memiliki nafsu mardhiyyah, secara timbale balik, mereka senang dan cinta kepada Allah SWT, dan Allah SWT. pun menyambut dengan senang dan cinta kepada mereka. Nafsu ini hanya dimiliki oleh khawashul khawas. Mereka ini sudah ke derajat waliyullah (kekasih Allah) yaitu para wali dan para nabi, karena mereka mencintai Allah SWT. dan Allah SWT. pun mencintainya.
7.              Nafsu Kamilah
Yakni nafsu yang sempurna. Nafsu ini hanya dimiliki oleh para rasul dan khususnya Rasulallah SAW.

Sedangkan nafsu itu sediri menurut imam Al-Ghozali dibagi ada empat bagian yaitu:
a.       Keserakahan nafsu terhadap harta benda
b.      Nafsu amarah akan membakar dan membutakan hati
c.       Kesenangan duniawi mendorong nafsu
d.      Nafsu syahwat
Kemudian ada juga sifat-sifat nafsu menurut imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ikhya’ Ulumuddin menyebutkan ada 3 sifat nafsu yaitu: Nafs al-muthmainnah (nafsu yang tenang), nafs al-lawwamah ( nafsu yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), dan nafs al-ammaarah al-suu (nafsu yang mengajak kepada keburukan).
                                                                                                                        
C.    HUBUNGAN IMAN DAN HAWA NAFSU
            Semua pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan bahwa iman itu berperan dan berpengaruh penting terhadap tindak laku manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Jika seseorang imannya kuat dia mampu melaksanakan ibadah dengan ikhlas, takut berbuat dosa, mampu mengendalikan maksiat, menipu, bohong, khianat, dll.
            Iman yang kokoh berperan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan sekaligus berperan menumbuhkan kebahagiaan hidup. Peran iman tersebut diantaranya adalah menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan keteguhan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia. Enam macam peranan tersebut hanya merupakan peranan yang asasi secara minim akan tumbuh pada prang-orang yang benar-benar beriman. Totalitas peranan tersebut secara integral dapat menumbuhkan ketawqwaan dalam kehidupan manusia, baik sebagi makhluk individual maupun kolektif.
Ibnu Athailah menekankan pentingnya kita mengenali nafsu kita sendiri. Karena ia merupakan sumber kebaikan dan kemaksiatan. Dengan mengenali nafsu diharapkan perjalanan hidup kita di dunia ini punya arti dan tidak pernah menyesal ketika bertemu Allah SWT.
Imam Al-Ghazali dalam minhaj al-abidin-nya menekankan agar kita berhati-hati terhadap dorongan hawa nafsu yang akan menyeret kita berbuat kejahatan. Hawa nafsu adalah musuh yang sangat mencelakakan. Menimbulkan petaka yang amat besar dan sukar dihindari. Oleh karena itu kita harus waspada dengan nafsu kita. Ada dua hal yang berkaitan dengan hawa nafsu. Pertama hawa nafsu merupakan musuh dari dalam, musuh diri sendiri, sehingga butuh perjuangan yang lebih keras dalam menaklukannya. Menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, jihad batin atau jihad menaklukan diri sendiri bisa lebih berat dan lebih sulit ketimbang jihad lahir. Sebab jihad batin merupakan sesuatu yang berlangsung terus-menerus dan terulang. Kedua karena hawa nafsu adalah musuh yang disukai, maka manusia yang mencintainya akan menutup mata dengan segala keaibannya. Ia tidak melihat segala keaibannya.
Di bagian lain Imam Ghazali mengibaratkan nafsu itu “kuda binal” yang ganas dan liar, sehingga untuk mengatasinya diperlukan cara atau metode khusus. Al-Ghazali menyebutkan untuk mengalahkan hawa nafsu : pertama mengekang keinginan. Sebab binatang binal akan lemah bila dikurangi makannya. Kedua dibebani dengan beribadah. Sebab keledaipun jika ditambah bebannya atau dikurangi makannya akan tunduk dan menurut. Ketiga berdo’a dan memohon pertolongan Allah SWT. nabi yusuf mengatakan bahwa. “nafsu itu memerintahkan berbuat kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh tuhan-ku” (QS yusuf [12]:53 )
Adapun Langkah-langkah mengendalikan hawa nafsu sebagai berikut:
1.      Banyak melakukan ibadah, terutama ibadah sunah. Sebab, makanan hati yang bersih adalah ibadah.
2.      Minta kepada allah dengan sungguh-sungguh agar keinginana anda semakin kuat untuk meninggalkan hal-hal yang buruk.
3.      Meyakini imbalan besar yang allah berikan kepada orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Sebagaimana firmannya “Katakanlah: “inginkah aku kabarkan kepadamu itu apa yang lebih baik dari yang demikian itu(memperturuti hawa nafsu)?.” Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada allah), pada sisi tuhan meraka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhoan allah. Dan allah maha melihat akan hamba-hambanya”. (QS: Ali imron :15).
Kuatkan keyakinan tersebut dengan banyak berdzikir dan beribadah kepadaNya. Jangan hanya mengandalkan ibadah wajib saja untuk mengendalikan nafsu, ditambah juga ibadah  sunah.
4.      Jaga panca indra kita dari pengaruh syahwat(nafsu). Jaga mata kita untuk tidak melihat hal-hal yang berbau maksiat, jga pendengaran dari pembicaraan yang jorok, jaga mulut dari berkata-kata yang cabul, dan jaga tangan serta kaki kita untuk tidak menjamah atau melangkah kehal-hal yang maksiat.
5.      Jaga pikiran kita dengan selalu berfikir positif dan produktif yang akan didapat dari banyak membaca yang positif dan hindari juga lingkungan yang membangkitkan hawa nafsu kita.
6.      Menerapkan sikap ATM yaitu pertama, Alihkan hawa nafsu yang cenderung buruk kepada kita. Maka setiap  ada keinginan, pikiran, perasaan, tontonan, perkataan, dll (yang berimbas keburukan pada beberapa jenis hawa nafsu) maka segralah alihkan ke hal yang baik, benar dan bermanfaat. Kedua, Tutup jalan hawa nafsu tersebut. Artinya hindari segala hal yang dapat memicu “kebangkitan” hawa nafsu negative. Ketiga Menahan dan mengendalikan hawa nafsu dengan usaha yang sungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Allah SWT. dengan catatatan langkah 1 dan 2 harus dilakukan lebih dahulu.
7.      Mengenali diri sendiri sebagai upaya pengendalian hawa nafsu. Supaya kita mengetahui sebab akibat yang ditimbulkan hawa nafsu untuk diri kita sendiri. Sebagaimana para sufi mengatakan ”Kenalilah dirimu sendiri maka kamu akan mengenali Tuhanmu”.
                      








BAB III
PENUTUP

I.         KESIMPULAN

Iman menurut bahasa berasal dari kata amana yu’minu imanan berarti keyakinan atau kepercayaan, sedangkan menurut istilah berarti keyakinan atau kepercayaan kepada Allah SWT, para malaikatnya, kitab-kitabnya, para utusannya, hari kiamat, dan qada serta qodar (ketentuan) baik serta buruk semua datang dari Allah.
Hawa nafsu terdiri dari dua kata yaitu hawa dan nafsu hawa mempunyai arti sangat cinta, kehendak. Sedangkan nafsu mempunyai arti ruh, nyawa, jiwa, tubuh, diri seseorang, kehendak, niat, selera, usaha. Dalam bahasa melayu nafsu bermakna keinginan, kecenderungan, atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan kata hawa, biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik dan adakalanya bermakna selera, jika di hubungkan dengan makanan.
Adapun pembagian hawa nafsu yaitu :
1.      Nafsu Ammarah
2.      Nafsu lawwamah
3.      Nafsu Mulhamah
4.      Nafsu Muthmainnah
5.      Nafsu Radhiyyah
6.      Nafsu Mardhiyyaj
7.      Nafsu Kamilah
Cara pengendalian hawa nafsu:
1.      Banyak melakukan ibadah, terutama ibadah sunah. Sebab, makanan hati yang bersih adalah ibadah.
2.      Minta kepada allah dengan sungguh-sungguh agar keinginana anda semakin kuat untuk meninggalkan hal-hal yang buruk.
3.      Meyakini imbalan besar yang allah berikan kepada orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya.
4.      Jaga panca indra kita dari pengaruh syahwat(nafsu).
5.      Jaga pikiran kita dengan selalu berfikir positif dan produktif yang akan didapat dari banyak membaca yang positif dan hindari juga lingkungan yang membangkitkan hawa nafsu kita.
6.      Menerapkan sikap ATM yaitu alihkan, tutup, dan menahan hawa nafsu.
7.      Mengenali diri sendiri sebagai upaya pengendalian hawa nafsu.      

II.                DAFTAR PUSTAKA
Musnawar, Prof. DR. H. Tohari, Jalan Lurus menuju Ma’rifatullah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004).
Al-Kumayi, Sulaiman, Cahaya Hati Penentram Jiwa, (Semarang: Pustaka Nuun, 2005).
Mujib, M. Abdul, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghozali, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009).
Kurniawan, Irwan, Risalah Al-Ghozali, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).
Rifa’i, Drs. H. Moh, Akhlaq Seorang Muslim, (Semarang: Wijaksana, 1993).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar